Orang punya banyak alasan buat pergi ke bioskop. Ada yang mau menikmati visual keren, ada yang mau larut di cerita yang bikin mikir, ada juga yang cuma mau kabur sebentar dari realita. Aku? Jujur, kali ini ke bioskop lebih ke eksperimen pribadi, seberapa kuat mental ini bertahan menghadapi film yang dari trailernya saja perlu dipertanyakan.
Dan demi kebaikan umat penonton Indonesia, aku tulis review ini. Anggap saja ini misi penyelamatan massal atau minimal peringatan dini.
Sinopsis Film Merah Putih: One For All

Film animasi ini akhirnya benar-benar rilis di bioskop (walau cuma tayang sangat terbatas) sejak 14 Agustus 2025. Awal cerita, ada di suasana desa yang tengah mempersiapkan 17 Agustus-an. Semua bahagia, penuh warna, lomba sana-sini. Sampai … bendera merah putih desa hilang.
Tanpa investigasi, tanpa rapat darurat, Pak Lurah langsung nunjuk delapan anak buat masuk hutan cari bendera itu. Dan nggak ada satu pun yang nyeletuk, “Eh Pak, serius nih?”
Di sisi lain, ada sekelompok pemburu burung eksotis yang dapat tawaran 100 juta dari bule misterius untuk menangkap burung macaw. Yang bikin makin absurd, si bule ini ngomongnya pakai suara text-to-speech bot. Iya, kayak suara Google Translate yang lupa di-update.
Tim Merdeka (alias bocil-bocil pilihan Pak Lurah) pun mulai misi pencarian. Hasilnya? Hampir setengah film cuma montase jalan kaki, menyeberangi sungai, muter-muter hutan, main sama monyet, dikejar domba ngamuk, makan buah liar, sakit perut, lalu adegan kentut dan bunyi BAB lengkap dengan efek kentutnya & flush yang terdengar lama banget.
Anehnya, semua kelakuan mereka direkam Pak Hansip. Entah tujuannya apa, aku pun nggak terlalu memusingkannya.
Ketegangan baru muncul waktu mereka nemu burung macaw yang dikurung. Mereka bebaskan, ketahuan, dikejar.
Singkat cerita, entah kenapa nyasar ke kuil terbengkalai tempat Pak Tua menyimpan bendera cadangan.
Sayangnya, komplotan penjahat menghadang mereka, menyandera bendera, dan minta tebusan 100 juta atau burung macaw.
Akhirnya? Bocil-bocil itu menyeruduk musuh pakai domba ngamuk, bendera kembali, upacara jalan, dan tiba-tiba muncul plot twist: anak ‘Pak Hansip’ ternyata dalang kejahatan. Nggak ada penjelasan lebih lanjut, kredit jalan, penonton bengong.
Review Film Merah Putih: One For All

Kalau kamu suka film dengan misi jelas, konflik yang naik turun dengan mulus, dan karakter yang berkembang, ini bukan tontonanmu.
Separuh durasi film dihabiskan untuk loop eksplorasi hutan dengan lagu yang sama berulang-ulang. Sampai aku hafal dan bisa menyanyikan nada-nadanya di karaoke.
Motivasi karakter? Nggak jelas. Kenapa harus bendera itu yang dicari? Kenapa nggak lapor Lurah pas bendera disandera? Kenapa bendera merah putih tiba-tiba jadi senilai 100 juta? Semua pertanyaan itu cuma melayang di udara tanpa jawaban.
Plot twist anak ‘Pak Hansip’ jadi villain juga terasa kayak ide darurat lima menit sebelum deadline naskah. Karakternya bahkan nggak sempat dibangun, jadi saat kejutannya keluar, ya sudahlah.
Sound design? Mimpi buruk banget sih. Efek suara jauh lebih kencang ketimbang dialognya, jadi banyak omongan karakter tenggelam. Kalaupun terdengar, tone pengisi suara nggak konsisten, kadang teriak kayak lagi orasi, kadang ngomong kayak mau tidur.
Visualnya pun, hmmm terasa game 2000-an banget, kamera statis, close-up wajah, karakter kayak kebanyakan melotot, lalu cut. Begitulah hampir seluruh adegan.
Kayaknya film ini niat mau bikin drama petualangan anak-anak yang sarat pesan cinta lingkungan dan nasionalisme. Sayangnya, hasil akhirnya malah lucu, bukan karena skenarionya mantap jiwa, tapi karena eksekusinya bikin geleng-geleng kepala.
Kalau industri animasi Indonesia mau maju, tolong jangan jadikan standar film seperti ini sebagai patokan. Potensi ada, tapi kalau hasilnya masih mentah seperti ini, mending diracik ulang dari awal.
Skor pribadiku? Ya, mending nggak usah.