Sungai Mahakam Tercemar, Bagaimana Sudut Pandang Politik Lingkungan?

Ayu Nabila | Athifah fa
Sungai Mahakam Tercemar, Bagaimana Sudut Pandang Politik Lingkungan?
Sungai Karang Mumus yang dipadati oleh pemukiman penduduk (DocPribadi/Athifah)

Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sepadan (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai). Dapat dikatakan sungai merupakan bagian dari daratan yang menjadi tempat-tempat aliran air yang asalnya dari mata air atau curah hujan.

Sungai Mahakam

Foto Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur (dokumen pribadi/Athifah)
Foto Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur (dokumen pribadi/Athifah)

Kota Samarinda memiliki ciri geografis yang unik karena wilayahnya terpisah atau terbelah oleh Sungai Mahakam yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Kalimantan Timur. Sungai Mahakam memiliki panjang sekitar 920 km, dengan luas 149.277 km2, mempunyai kedalaman mencapai 30 m dengan lebar sekitar 300–500 m, dan ketinggiannya mencapai 20–40 m di atas permukaan laut.

Dalam sejarahnya, sejak abad ke-4 Masehi Sungai Mahakam telah dilintasi oleh para pelaut dari mancanegara, seperti Tiongkok dan India yang bertujuan untuk melakukan perdagangan. Sungai Mahakam dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai sumber air, potensi perikanan serta sarana transportasi yang juga memberikan dampak pada sektor ekonomi. Masyarakat sekitar menggunakan air di Sungai Mahakam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti mencuci pakaian, mandi, dan sebagai sumber air minum.

Pada aspek geografis, Sungai Mahakam mencakup kondisi wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan luas DAS Mahakam mencapai 77.095.460 ha. Wilayah DAS Mahakam termasuk dalam Kabupaten Kutai Barat, Kutai Timur, Malinau, Kutai Kartanegara, dan Kota Samarinda. Sungai Mahakam juga memiliki anak-anak sungai di Kota Samarinda, salah satu anak Sungai Mahakam yaitu Sungai Karang Mumus yang luas DAS nya sekitar 218.60 km.

BACA JUGA: Melawan Abuse of Power: Mengendalikan Orang Lain Lewat Dominasi Kekuasaan

Tercemarnya Sungai Karang Mumus

Kondisi air di Sungai Karang Mumus yang mengalami perubahan menjadi warna hitam (2019 Merdeka.com/Saud Rosadi)
Kondisi air di Sungai Karang Mumus yang mengalami perubahan menjadi warna hitam (2019 Merdeka.com/Saud Rosadi)

Sungai Karang Mumus digunakan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar dan sudah ditahap mengalami penurunan kualitas. Hal ini terlihat dengan kondisi air yang berubah warna menjadi hitam, berbau yang disebabkan oleh pembusukan sampah, dan banyaknya sampah yang ada dipermukaan sungai. Penurunan kualitas pada perairan sungai dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti penyakit pernapasan, infeksi saluran kemih, diare, dan lainnya.

Sungai Karang Mumus yang telah tercemar tidak luput disebabkan oleh pencemaran limbah yang dapat mencemari sungai diantaranya limbah rumah tangga, limbah dari Pasar Pagi, limbah industri, dan juga limbah manusia.

Perkembangan penduduk yang sangat pesat di Kota Samarinda menyebabkan semakin sedikitnya lahan kosong untuk tempat tinggal sehingga adanya lahan kosong di bantaran Sungai Karang Mumus dimanfaatkan oleh warga menjadi tempat tinggal dan menciptakan lingkungan baru yang kumuh. Ketidakaturan bangunan akibat pertumbuhan pemukiman ilegal di bantaran sungai dan kepadatan bangunan serta konstruksi bangunan yang tidak sesuai menyebabkan kawasan ini rentan terhadap bencana banjir dan kebakaran.
 
Masyarakat yang tinggal di wilayah Sungai Karang Mumus memiliki keterbatasan untuk membeli air PDAM sehingga mau tidak mau menggunakan air sungai untuk seluruh kebutuhan sehari-hari. Tak hanya itu, kebiasaan buruk masyarakat yang tidak menjaga kebersihan sungai tersebut terlihat dari banyaknya sampah yang dibuang di sungai sehingga mencemari kebersihan air Sungai Karang Mumus.

Jika pencemaran ini terus berlanjut, maka akan berdampak pada berkurangnya populasi yang juga mengakibatkan kepunahan ikan-ikan yang ada di sana. Pohon-pohon yang tadinya menjadi penyangga di sekeliling sungai nantinya akan menghilang seiring bertambahnya pembangunan pemukiman di sekitar dan jumlah penduduk yang semakin padat.

Dampak dari pencemaran yang terjadi ternyata tidak menimbulkan kesadaran masyarakat sekitar akan bahayanya ketika sungai yang mereka gunakan sebagai sumber air sehari-hari telah tercemar, bahkan sebagian warga tidak sadar akan dampak dari membuang limbah sembarangan di sungai.

Bagaimana Peran Pemerintah Menangani Sungai Karang Mumus yang Tercemar?

Upaya Pemerintah melakukan normalisasi untuk menangani pencemaran di Sungai Karang Mumus (kaltimprov.go.id/Cinthia)
Upaya Pemerintah melakukan normalisasi untuk menangani pencemaran di Sungai Karang Mumus (kaltimprov.go.id/Cinthia)

Berlandaskan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai yang didalamnya mengatur bahwa sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara bukan milik perorangan apalagi sampai membangun di daerah bantaran pinggiran sungai yang menyebabkan penyempitan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Dalam penanganan permasalahan kumuh oleh Pemerintah Samarinda terdapat beberapa aspek dasar yang harus diselesaikan bersama, yaitu penataan bangunan hunian, peningkatan kualitas jalan, penyediaan akses air minum, peningkatan kualitas drainase, perbaikan sistem pengolahan limbah, peningkatan sistem pengelolaan persampahan dan peningkatan sistem pengamanan kebakaran.

Kebijakan pemerintah dalam melakukan normalisasi Sungai Karang Mumus ditandai dengan penandatanganan MOU (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kota. Dari kebijakan tersebut diperlukan kerja sama antara Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Pemerintah Provinsi yang diwakili oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Samarinda.

Teknik pelaksanaan normalisasi Sungai Karang Mumus dilakukan mulai dari hilir ke hulu sungai. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur bekerjasama dengan Korem 091/Aji Suryanatakesuma melalui Swakelola Tipe II dalam kegiatan normalisasi Sungai Karang Mumus dimana Korem 091/Aji Suryanatakesuma sebagai tim pelaksana normalisasi Sungai Karang Mumus yang juga berkolaborasi dengan Bidang Sumber Daya Air Dinas PUPR Pera KalTim selaku tim persiapan dan pengawasan.

Dalam menangani fenomena yang terjadi, Pemerintah Kota Samarinda melaksanakan program yang mirip seperti di Jakarta yaitu, mendorong terciptanya Ruang Terbuka Hijau dengan merelokasi warga yang tinggal di bantaran Sungai Karang Mumus.

BACA JUGA: Sunnah Simplicity: Menggali Kembali Hikmah Minimalisme dalam Islam

Relokasi ini dilakukan dengan dua cara, yaitu masyarakat bersedia pindah direlokasi ke lokasi yang telah disediakan oleh pemerintah yaitu di Perumahan Bengkuring Tepian Permai dan Perumahan Sambutan Idaman Permai sedangkan masyarakat yang tidak bersedia pindah dari bantaran Sungai Karang Mumus diberi kesempatan untuk tinggal di rumah susun yang dibangun di sekitar pemukiman saat ini.

Kondisi Terkini Sungai Karang Mumus

Kondisi terkini Sungai Karang Mumus - April 2023 (dokumen pribadi/Athifah)
Kondisi terkini Sungai Karang Mumus - April 2023 (dokumen pribadi/Athifah)

Foto di atas merupakan kondisi terkini Sungai Karang Mumus setelah Pemerintah melakukan kebijakan normalisasi dan relokasi pemukiman penduduk yang memadati bantaran Sungai Karang Mumus. Terlihat saat ini kondisi Sungai Karang Mumus jauh lebih tertata dan bersih dari sebelum dilakukannya kebijakan normalisasi oleh Pemerintah.

Bagaimana Politik Lingkungan Melihat Fenomena Sungai Karang Mumus?

Ilustrasi (dokumen pribadi/Athifah)
Ilustrasi (dokumen pribadi/Athifah)

Pemahaman mengenai Politik Lingkungan ada pada kebijakan yang diambil atau dipilih terkait dengan sumber daya alam yang akan membawa dampak terhadap wujud kekuatan ekonomi dan sosial pada masyarakat. Kesenjangan antara penduduk miskin dan penduduk kaya akan bertambah luas atau sempit karena kebijakan atas sumber daya alam yang diambil oleh pemerintah.

Watts (2000) mengatakan bahwa Politik Lingkungan sebagai instrumen (alat) untuk memahami kompleksitas kepemilikan akses dan kontrol terhadap sumber daya dan dampaknya terhadap kesehatan lingkungan dan keberlanjutannya.
Fenomena yang terjadi di Sungai Karang Mumus pada dasarnya merupakan akibat dari pola konsumsi–produksi manusia yang mengeksploitasi lingkungan.

Pemikiran utama dalam Hubungan Internasional memaknai lingkungan dari isu yang terjadi di Sungai Karang Mumus menekankan pada pemikiran liberalisme. Liberalisme mengungkapkan bahwa terciptanya suatu harmonisasi lingkungan jika ada suatu institusi/lembaga yang memiliki peraturan-peraturan sehingga dapat melakukan perjanjian ataupun kerja sama untuk mengatasi persoalan lingkungan.

Dalam konteks Politik Lingkungan, institusi berarti sekumpulan norma dan peraturan yang konstitutif, regulatif, dan prosedural yang relatif stabil. Contohnya adalah peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Kota Samarinda mengenai normalisasi Sungai Karang Mumus. Dalam hal ini, kebijakan untuk menangani tercemarnya Sungai Karang Mumus dibuat oleh aktor politik lingkungan seperti negara dan pemerintah daerah.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak