Bualan Politik: Ancaman Nyata saat Rakyat Tak Cek Fakta

Hayuning Ratri Hapsari | Oktavia Ningrum
Bualan Politik: Ancaman Nyata saat Rakyat Tak Cek Fakta
ilustrasi pemerintah indonesia (Instagram/gibran_rakabuming)

Politik di Indonesia sering lebih kaya isinya janji ketimbang kerja nyata. Tapi semakin banyak bukti bahwa tidak hanya retorika-nya yang bermasalah, tetapi juga ketidakbecusan pejabat yang menempati jabatan strategis—fakta yang harus jadi sorotan publik.

Pada 19 Januari 2012, publik Indonesia dibuat sumringah oleh pernyataan Jokowi, saat itu masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Mengumumkan bahwa mobil Esemka sudah dipesan 4.000 unit. Satu bulan berselang, 25 Februari, angka itu melonjak jadi 6.000 unit. 

Angka-angka itu entah muncul dari hitungan serius atau sekadar retorika. Tapi inilah pola yang kemudian terasa begitu familiar. Sepuluh tahun berlalu, dan Jokowi menjabat sebagai Presiden RI dua periode. Pola yang sama tetap terlihat: janji-janji bombastis yang sering kali berlawanan dengan kenyataan.

Retorika vs Realita: Politisi Pintar “Mengarang”

Sepuluh tahun berlalu, pola serupa terbukti lagi dan lagi:

  • Tidak akan impor, tapi berdasar data Badan Pusat Statistik Indonesia impor 2023 mencapai USD221,9 miliar, termasuk USD62,9 miliar dari Tiongkok saja. Impor nonmigas 2023: hampir USD186 miliar. 
  • Tidak akan menambah utang, tetapi menurut data PDB utang luar negeri meningkat drastis—US$425 miliar pada akhir 2024, tumbuh ~8,3% dari tahun sebelumnya. Utang luar negeri per 2024: US$425 miliar atau ~29% dari GDP. 
  • GDP per kapita PPP 2024: Tiongkok US$13K, Indonesia US$4.9K (data World Bank). 
  • IKN tidak memakai APBN, tapi structuran dana negara tetap salurkan anggaran ke sana.
  • Anak-anak Jokowi tak tertarik politik, faktanya mereka kini aktif di dunia politik. 

Angka-angka ini menunjukkan apa? Bukan bahwa negara gagal, tetapi janji-janji retoris tetap dijual tanpa adanya sistem dan birokrasi yang membantunya dieksekusi. Yang terjadi justru sebaliknya.

Fenomena Ketidakbecusan Pejabat dan Citra Berlebihan

Menteri/Pejabat bercitra tapi tak berisi itu alarm bahaya. Menurut berbagai studi politik, politisi memang sering menggunakan retorika persuasif. Ini bukan kebohongan mutlak, melainkan strategi komunikasi untuk mencitrakan dirinya dan menarik dukungan. Namun masalah muncul saat klaim itu dibebaskan tanpa tanggung jawab. 

  • Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dengan bangga mengirim “SMS pantun” untuk mengatasi kebiasaan masyarakat yang terlibat judi online, alih-alih turun ke lapangan dan tangani masalah secara cepat dan profesional dengan memblokir akses hingga menangkap pihak yang bersangkutan. 
  • Pemerintah Daerah yang kerap menamai aplikasi publik dengan istilah tak etis seperti “sipepek”, “sisemok”, jelas memperburuk citra dan reputasi seorang pejabat publik yang harusnya menjadi role model rakyat.
  • Pengangkatan artis jadi pejabat tanpa kapabilitas memadai di bidangnya. Kita melihat banyak artis merangkap jabatan publik—sangat jarang ada standar evaluasi kompetensi bidang pemerintahan.
  • Pemdes dan Pemkab dikuasai golongan gaptek. Digitalisasi desa dan pemerintah kabupaten berjalan lambat karena birokrat yang tidak adaptif terhadap teknologi baru. Akhirnya, pelayanan publik mandek.
  • Kontroversi Bahlil Lahadalia: Menteri Investasi ini terus menjadi sorotan karena pidato provokatif, pencitraan berlebihan dan tuduhan nepotisme kelas berat. Padahal posisi ini butuh keahlian politis dan teknis mumpuni.

Apa Dampaknya pada Rakyat?

  • Impor tinggi & utang besar → menyebabkan ketergantungan ekonomi dari luar tanpa strategi substitusi yang nyata.
  • Birokrasi penuh pejabat absurd → program publik sulit terlaksana, banyak dana menguap sia-sia. Kompetensi dipinggirkan– jabatan sering jatuh ke orang yang kurang layak. 
  • Ketidakmampuan menyeimbangkan retorika-layak-evaluasi → rakyat bingung, buruknya trust terhadap pemerintahan mengakar. Pencitraan menguasai program–fokus bansos dan IKN lebih pada “propaganda” ketimbang efektivitas bagi rakyat.

Perbandingan Global: Ketika Birokrasi Dewa Bicara

Bandingkan dengan Tiongkok: pada 1997, GDP per kapita Indonesia sempat berada di atas Tiongkok, tetapi kini tertinggal jauh. Di 2024, GDP per kapita PPP Tiongkok US$13K, sedangkan Indonesia hanya US$4,9K . Itu terjadi bukan karena politisinya sempurna, tetapi karena birokrasi tetap berjalan meski ada retorika politik.

Di Indonesia? Selain retorika kuat, ekosistem birokrasi masih sarat dengan monopoli, korupsi, dan kadang jabatan diberikan berdasarkan kedekatan, bukan kompetensi.

Solusi: Wujudkan Politisi yang Mampu Kerja Nyata

  • Rakyat harus pro-aktif: cek data resmi BPS, BI, dan Kementerian/Lembaga sebelum percaya angka-angka megah.
  • Tekan sistem agar jabatan diisi yang kompeten, bukan sekadar politisi kursi kader.
  • Kawal sekaligus kritisi birokrasi: retorika boleh manis, tapi eksekusi harus nyata.
  • Evaluasi teknis & tes kualifikasi untuk setiap jabatan penting, bukan sekadar latar politik atau relasi.
  • Audit jabatan dan program
  • Publik dan lembaga independen perlu akses data dan power overarching institusi publik untuk evaluasi kinerja pejabat.
  • Sanksi nyata atas kegagalan: bila menteri atau pejabat terbukti tidur di rapat, menambah utang tanpa alasan jelas, atau terbukti korup, tak cukup sanksi moral – tetapi harus ada hukuman hukum administratif yang nyata.
  • Digitalisasi birokrasi & training massal: upgrade SDM berbasis IT di tingkat desa dan kabupaten agar pemerintah digital bisa efektif dan melayani publik.

Jangan Cuma Dijadi “Fans”: Hingga Buta Akan Realita

Politisi dan pejabat memang harus jualan visi dan mimpi, tapi ia harus juga didukung sistem yang mampu mengeksekusi. Tidak ada gunanya pejabat pandai bicara namun pegang jabatan tanpa kompetensi. Jika mimpi itu tidak dibangun dengan kerja nyata dan sistem yang profesional, ujung-ujungnya yang hilang adalah kepercayaan rakyat.

Rakyat perlu lebih kritis, menuntut transparansi dan profesionalisme. Jangan mudah terbuai retorika—terutama saat janji itu tidak dibarengi aksi nyata. Waktunya beranjak dari potret politik sebagai hiburan, menuju realitas pemerintahan yang bekerja—untuk rakyat. 

Kita boleh menilai politikus berdasarkan janji mereka. Namun yang perlu ditegaskan: jangan berhenti di janji — pastikan ada realisasi. Birokrasi harus lebih dari sekadar penolong retorika; ia harus menjadi tulang punggung kemajuan bangsa.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak