Ferdy Sambo Bebas Hukuman Mati, Sesuai Prediksi dan Mengulang Sejarah

Hernawan | Yakhin Maufa
Ferdy Sambo Bebas Hukuman Mati, Sesuai Prediksi dan Mengulang Sejarah
Terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo hadir untuk mengikuti sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]

Selasa 8 Agustus 2023, Mahkamah Agung (MA) memberikan  putusan menerima permohonan kasasi terhadap putusan hukuman mati Ferdy Sambo. Sebelumnya, Ferdy Sambo telah mengajukan banding terhadap putusannya kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun pada 12 April 2023, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap menguatkan putusan hukuman mati yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 

Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta ini sebelumnya telah diprediksi oleh beberapa praktisi hukum salah satunya Hotman Paris Hutapea. Setahun lalu, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 2022, Pengacara kondang, Hotman Paris Hutapea dalam sebuah acara bincang-bincang di salah satu stasiun televisi nasional  pernah menyatakan bahwa Ferdy Sambo akan bebas dari hukuman mati.

Ada beberapa alasan yang diutarakan oleh Hotman Paris, salah satunya berkaitan dengan sisi spontanitas pelaku. Selain itu, dalam beberapa bulan lalu pasca pembacaan putusan, Hotman Paris juga kembali memprediksi hal yang sama. Kali ini alasannya karena pasal 100 KUHP 2023 yang dipakai sebagai dasar untuk menghukum Ferdy Sambo memiliki beberapa celah salah satunya tentang masa percobaan 10 tahun. 

Selain sesuai prediksi, putusan Mahkamah Agung ini juga kembali mengulang sejarah dalam proses hukum anggota kepolisian. Sebelum Sambo, ada nama Brigadir Jenderal Polisi Raden Soegeng Soetarto yang lolos dari hukuman mati.

Brigadir Jenderal Polisi Raden Soegeng Soetarto dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada  tanggal 14 Agustus 1973 setelah dinyatakan bersalah karena terbukti terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. 

Dalam sidang yang menghadirkan Soebandrio sebagai saksi, Soetarto yang pada saat kejadian menjabat sebagai Kepala Staf Badan Pusat Intelejen (BPI) dinyatakan bersalah karena terbukti membiarkan pihak yang akan menggulingkan pemerintahan yang sah.

Menurut John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto menyebut bahwa pada saat persidangan, Soebandrio memberikan keterangan yang menyudutkan Soetarto dengan menyebut bahwa dirinya   tidak kenal akrab dengan Soetarto dan hanya bekerja atas perintah Soekarno.

Selain itu, Catatan pengadilan Soegeng Soetarto oleh Tempo edisi 8 September 1973 juga menyebutkan bahwa Soebandrio memberikan keterangan yang menyudutkan dengan bersikap polos mengenai dokumen isu dewan jenderal. 

Keterangan lain yang semakin memberatkan Soetarto juga berasal dari dirinya  yang mengakui menaruh hormat yang tinggi kepada PKI dalam memperjuangkan hak rakyat dan partai. Keterangan-keterangan inilah yang akhirnya meyakinkan hakim bahwa Soetarto terbukti membiarkan pihak yang akan menggulingkan pemerintahan yang sah dalam dan menjatuhkan vonis hukuman mati. 

Namun pada tahun 1982, vonis hukuman mati Soetarto bersama Soebandrio dan Oemar Dani diubah menjadi hukuman seumur hidup oleh Kementerian Kehakiman atas arahan Presiden Soeharto.

Kemudian pada 2 Juni 1995, Presiden Soeharto mengabulkan permintaan grasi para isteri terpidana mati dan pada tanggal 15 Agustus 1995, Soetarto bersama dua terpidana mati lainnya yaitu Soebandrio dan Oemar Dani bebas dari hukuman penjara.

Prediksi yang tepat serta sejarah yang terulang dalam kasus Sambo membuktikan bahwa hukuman mati bagi petinggi kepolisian sepertinya hanya bertujuan untuk memenuhi tuntutan publik terhadap kasus besar yang mencuat. Pemerintah sepertinya ingin menunjukan bahwa hukum di Indonesia berlaku tajam bagi pihak penegak hukum. Namun, seperti yang dikatakan presiden Joko Widodo, putusan pengadilan tetap harus dihargai.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak