Kasus pembakaran Al Quran di Swedia telah memantik kemarahan banyak pihak. Atas nama kebebasan berbicara, Pemerintah Swedia tidak melakukan apa-apa. Padahal akibat pembakaran Al Quran itu, banyak dampak buruk yang bisa terjadi. Beberapa dampak buruk itu adalah aksi balasan yang bisa saja dilancarkan oleh warga imigran Muslim yang tidak terima agama dan nabinya dihina.
Selain itu, hal ini bisa menimbulkan ketegangan antar warga yang berbeda suku, ras dan budaya di Swedia. Jadi, meskipun tidak sampai kepada kerusuhan atau serangan fisik, namun hal ini bisa menimbulkan riak riak dendam yang bergerak bagaikan api di dalam sekam. Kelak di kemudian waktu, sedikit insiden saja bisa berbuntut masalah besar seperti yang terjadi di Perancis ataupun di St. Louis.
Bapak dari teori Clash of Civilization, Samuel P. Huntington pernah menyatakan bahwa peperangan antar suku, agama dan berbeda tidak bisa dihindari. Ia menyatakan bahwa inilah yang akan menjadi bab baru dalam peperangan antar umat manusia. Pernyataan itu ia sampaikan untuk menyanggah pendapat Francis Fukuyama yang menyatakan bahwa kita sudah memasuki The End of History di mana konflik antar manusia telah berakhir setelah berakhirnya perang dingin. Kini, ucapan Huntington seolah terbukti.
Namun kalau kita telaah, ada satu negara yang bisa kita sebut sebagai negara kota yaitu Singapura. Singapura berhasil menyelesaikan konflik ras dan dalam waktu puluhan tahun hanya pernah mengalami satu insiden kerusuhan rasial saja. Selain masalah itu, Singapura tidak pernah menghadapi problema seperti yang dihadapi oleh negara lain.
Lalu apa yang membedakan Singapura dengan negara lainnya? Jika kita lihat baik baik, Singapura dikenal sebagai negara hukum. Negara hukum ini artinya negara yang benar benar bergantung pada hukum sebagai panglima utama saja. Hampir di setiap sendi kehidupan Singapura memiliki hukum atau aturannya.
Salah satu aturan yang paling menonjol adalah kewajiban apartemen atau rumah susun untuk memiliki komposisi penghuni yang sama dengan komposisi Singapura sebagai negara. Misalnya saja satu apartemen wajib setidaknya memiliki dua puluh persen warga keturunan India. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa 20 persen warga Singapura merupakan keturunan India.
Namun hukum saja tidak cukup. Pemerintah Singapura memiliki paradigma pragmatis dalam menyusun aturan di negara Merlion itu. Paradigma pragmatis itu bahwa founding father Lee Kuan Yuew menegaskan bahwa prioritas pertama dari Singapura adalah kesejahteraan. Pernyataan Lee ini seakan ‘mengeliminasi paksa’ potensi konflik akibat perbedaan rasial, suku, budaya dan agama.
Lee sangat keras dalam menjalankan paradigma pragmatis ini, salah satu alasan kuat mengapa ia bisa memaksakan aturan ini dengan ‘keras’ adalah realitas bahwa Singapura adalah sebuah negara miskin dengan sumber daya terbatas ketika ia menduduki posisi in power.
Warga masyarakat yang tidak punya pilihanpun kemudian juga mengutamakan kesejahteraan ketimbang membicarakan konsep kebebasan beragama atau mengekspresikan budaya mereka. Sebuah hak yang secara konseptual sangat mulia tapi tidak bisa memberi makan warga Singapura ketika itu.
Sementara itu, Swedia yang merasa bahwa kebutuhan mereka sudah terpenuhi berusaha untuk idealis dan berbicara mengenai kesetaraan hak, individualisme dan hak mengekspresikan diri. Pemikiran mulia dari Swedia ini nyatanya malah menjauhkan mereka dari kepentingan pragmatis mereka yang jauh lebih penting; memiliki masyarakat yang damai dan mampu bersatu.
Pelajaran dari perbandingan ini adalah sebuah negara membutuhkan single common purpose atau tujuan tunggal untuk dapat meraih kemajuan. Jika masyarakat masih memiliki kepentingan sendiri sendiri dan mendefinisikan diri mereka dalam klan klan tertentu, maka peluang mereka untuk berkonflik semakin besar dan hal itu secara sistemik merusak negara mereka. Sementara itu, dengan adanya single common purpose, maka lebih mudah bagi sebuah negara untuk mencapai kedamaian dan juga kesejahteraan.
Sumber :
- Nas Daily YouTube
- Huntington, S. P. (2020). The clash of civilizations?. In The New Social Theory Reader (pp. 305-313). Routledge.