Mengapa Infrastruktur Desa dan Kota Berbeda? Ini Alasan Sosial-Kulturalnya

Hernawan | Mohammad Maulana Iqbal
Mengapa Infrastruktur Desa dan Kota Berbeda? Ini Alasan Sosial-Kulturalnya
Ilustrasi pemukiman di desa (Pexels/Pixabay)

Membangun sebuah rumah, nyatanya tidak hanya persoalan batu bata, pasir, semen maupun kawat. Tidak hanya persoalan berapa biaya yang dikeluarkan, ke-estetik-an bangun, warna rumah, dan lain semacamnya. Melainkan bangun rumah itu, juga persoalan sosio-kultural di mana rumah tersebut akan dibangun, di tengah masyarakat pedesaan ataukah masyarakat perkotaan?

Inilah yang menjadi latar belakang sosio-kultural mengapa corak dasar atau arsitektur dasar dari terbangunnya sebuah rumah di pedesaan itu sama sekali berbeda dengan di perkotaan. Ada yang berpagar, ada yang tidak. Ada yang memiliki halaman, ada yang tidak. Ada yang muepet jret, ada yang renggang-renggang. Itu semua persoalan sosio-kultural, bukan persoalan kekurangan semen, kebanyakan batu krikil atau bahkan biaya yang dikeluarkan.

Pagar Rumah

Infrastruktur rumah yang paling tampak banget ketika kita membandingkan rumah antara di perkotaan dan di pedesaan itu adalah pagar rumah. Sekecil-kecilnya rumah di Surabaya misalnya, itu pasti ada pagar rumahnya. Dan, segede apapun rumah di Gresik, khususnya yang bagian pelosok, itu pasti tidak ada pagar rumahnya. Itu yang membedakan antara rumah di pedesaan yang tanpa pagar dan perkotaaan yang wajib berpagar.

Tapi apakah desain rumah yang berbeda itu karena persoalan ekonomi? Karena kekurangan biaya hingga tidak sanggup bangun pagar, atau persoalan kemegahan rumah hingga membangun pagar yang menjulang tinggi? Tentu, bukan itu persoalannya.

Alasan sosio-kultural mengapa orang-orang desa enggan membangun pagar rumah, meskipun sering kemalingan, itu karena bagi mereka pagar adalah sebuah simbol untuk terciptanya jarak sosial antar tetangga. Mereka tidak mau gara-gara pagar rumah, mereka tersekat oleh tetangga sendiri, tidak bisa ngerumpi dengan tetangga sendiri, dan seolah-olah mengisolasi diri dari interaksi sosial sekitar mereka.

Berbeda dengan itu, karena di perkotaan tingkat kriminalitas lebih tinggi dari pedesaan, bahkan coraknya lebih beragam, dari maling, perampok, begal, pembunuhan dan kekejian lainnya, tentu tidak mengherankan mereka membangun pagar rumah menjulang ke langit. Dan, tidak sedikit di atas pagarnya kadang beruncing atau kadang dikasih beling. Pagar disimbolkan oleh masyarakat kota sebagai bentuk protektif atas kejahatan sosial di sekitar mereka.

Halaman Rumah

Selanjutnya adalah halaman rumah. Pernah tidak sih kalian merhatiin kalau di perkotaan itu cenderung halaman rumahnya sempit-sempit, syukur bisa ditaruh pot bunga aja itu udah alhamdulillah, bahkan ada yang tidak punya halaman rumah sama sekali, alias langsung teras rumah. Berbeda dengan itu, di pedesaan itu justru halaman rumahnya luas banget, bahkan di pakek main bola Timnas musuh Argentina juga cukup sepertinya.

Kenapa bisa begitu? Apakah masyarakat kota miskin? Tidak juga dong, di perumahan elit juga halaman rumahnya sempit. Apakah masyarakat desa itu kaya? Hmmm, kurang tepat juga sepertinya, karena ada rumah gedek tapi halamannya luas. Lagi-lagi ini bukan persoalan ekonomi, dan juga persoalan arsitektur bangunan. Ini adalah persoalan sosio-kultural yang dianut di masing-masing masyarakat.

Rumah-rumah di desa, halamannya luas itu sebenarnya hendak memfasilitasi tetangganya untuk memanfaatkan lahan tersebut. Misal, kalo ada yang punya hajatan, mereka akan nempil dikit ke halaman tetangganya. Kalo mau jemur gabah, mereka akan nempil dikit ke tetangganya. Apa yang sebenarnya ingin diciptakan di sini? Ya, tentu saja adalah keharmonisan sosial, gotong royong, kehangatan antar tetangga, kohesi sosial, solidaritas sosial dan lain sebagainya.

Berbeda dengan perkotaan, mengapa halamannya sempit-sempit? Ini adalah persoalan perebutan ruang sosial. Di kota, satu centi lahan aja itu harganya bisa dibuat beli sapi di desa, bahkan bisa buat nyalon jadi kepala desa. Perebutan lahan adalah hal yang lumrah di perkotaan. Bahkan bukan hanya antar rakyat dengan rakyat. Bahkan melibatkan konflik sosial hierarkis antara rakyat dan penguasa setempat. Eh buat bangun jalan, buat pelebaran jalan, buat bangun tol, akhirnya gusur lahan orang, gusur halaman rumah orang. Ya, begitulah pembangunan di kota.

Jarak antar Rumah

Terakhir, salah satu yang membuat saya geleng-geleng ketika ke Surabaya sebagai daerah perkotaan adalah jarak rumah satu ke rumah yang lain itu nihil, alias tidak ada jarak sama sekali. Tembok langsung ketemu tembok. Bahkan tembok tetangga di jadikan temboknya sendiri. Tentu ini sangat berbeda dengan yang saya alami di Gresik, khususnya rumah-rumah di pelosok pedesaannya. Jarak terdekat antar rumah di pedesaan itu satu meter, sedangkan terjauh itu bisa tiga sampek empat meter.

Kenapa masyarakat desa jarak antar rumahnya itu longgar-longgar, itu sebenarnya untuk menghindari konflik lahan atas batas-batas teritorial diantara mereka. Mereka menghindari ketegangan sosial itu, meskipun sebenarnya sudah ada patok-patok yang jelas antara perbatasan rumah mereka. Namun, tetep aja kalo bangun rumah mereka enggan duempet mepet jleg dengan rumah tetangga.

Selain itu, jarak minim antar rumah satu meter itu juga untuk memfasilitasi barangkali ada orang yang mau lewat situ. Biasanya belakang rumah di pedesaan itu udah sawah, nah lorong-lorong itu sebagai jalan bagi orang lain untuk lalu lalang ke sawah mereka.

Dengan kondisi sosial-kultural yang berbeda, melahirkan kondisi infrastruktur yang berbeda pula di perkotaan. Mengapa di kota demikian sebenernya alasannya tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni pemanfaatan ruang secara maksimal, perebutan lahan, konflik ruang dan lain semacamnya.

Masyarakat kota bukan berarti miskin tidak bisa memperluas lahan mereka, tapi karena memang terpaksa untuk mendapatkan lahan sedemikian sempit. Sehingga tidak mengherankan banyak orang kota melarikan diri ke desa, khususnya semi perkotaan seperti di Gresik untuk mendapatkan lahan yang lebih luas.

Sampai sini kita sadar, bahwa bangun rumah itu tidak asal ala arsitek aja, yang penting bagus, ala ekonom yang mengkalkulasi pengeluaran, atau ala teknik sipil dengan perhitungan materialnya yang pas, melainkan juga harus ada ala sosiolog, yang juga mementingkat aspek sosialnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak