Jamu Resmi Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, Tapi Anak Sekarang Lebih Pilih Boba

Hernawan | Fitri Handayani
Jamu Resmi Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, Tapi Anak Sekarang Lebih Pilih Boba
Ilustrasi jamu beras kencur (freepik.com/jcomp)

Baru-baru ini, jamu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO pada 6 Desember lalu. Menurut istilah, jamu adalah Obat Bahan Alam berupa ramuan yang bersumber dari pengetahuan tradisional atau warisan budaya Indonesia yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan dan pemulihan kesehatan.

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebanyak 79% masyarakat Indonesia mengonsumsi jamu selama masa pandemi Covid-19. Mereka berharap dengan ditetapkannya Budaya Sehat Jamu sebagai WBTB dapat memperkuat dan melindungi warisan Indonesia yang sudah dikembangkan dari generasi ke generasi.

Namun, apakah generasi bangsa ini gemar minum jamu? Mungkin hanya sebagian kecil dari Gen Z yang masih sering mengonsumsi jamu harian. Melalui survei Momentum Works, Indonesia menjadi negara paling kecanduan konsumsi boba. 43,7% dari total pasar dikuasai oleh Indonesia atau sekitar Rp24 triliun pada 2021.

Persentasenya sangat jauh dari peringkat kedua yaitu Thailand yang memiliki nilai pasar sebesar US$749 juta. Menurut hasil survei lain yaitu dari Jajak Pendapat, merilis bahwa dari 1.209 responden, mayoritas atau 47% yang mengonsumsi minuman kekinian berusia antara 25-29 tahun pada tahun 2022. Minuman kekinian meliputi boba, es kopi, dan es teh aneka rasa memang tumbuh menjamur di Indonesia.

Sedangkan sejauh ini, sangat jarang terlihat ada booth jamu sehat seperti booth minuman kekinian. Di mana perusahaan jamu raksasa seperti Sido Muncul atau Jamu Jago bisa mencoba inovasi jamu sehat dengan sistem franchise. Sebab, masyarakat menjual jamu dengan cara tradisional atau kuno, seperti di kios, jamu gendong, maupun jamu keliling yang sepertinya kurang menarik di mata milenial dan gen z.

Modernisasi menggeser perilaku manusia dari yang tradisional menjadi serba modern dan estetik. Sehingga, untuk mendapat perhatian milenial maka diperlukan terobosan baru seperti kedai jamu dengan detail estetika zaman kuno atau booth minuman sehat jamu yang dilengkapi desain modern sekaligus menarik perhatian konsumen.

Sebetulnya, eksistensi jamu masih ada hingga sekarang dan ada beberapa tempat yang perlu ditiru oleh pengusaha lokal agar warisan jamu masih terus eksis di masa mendatang. Contohnya, Wiratea Spicesbar, sebuah kedai kopi di Yogyakarta yang menggabungkan konsep rempah dan bahan non rempah. Beberapa menu minumannya yaitu kopi susu ginger, turmeric tamarind, cinnamon choco ginger, dan masih banyak lagi.

Ada juga perusahaan artisan yaitu Agradaya, mereka memproduksi serbuk murni jamu sehat dari berbagai macam jenis rempah seperti kunyit, jahe, dan jahe merah. Selain itu, produk teh dan produk bubuk rempah sebagai tambahan minuman, lulur, atau pengobatan tertentu.

Mari sebarkan semangat mencintai dan membumikan kembali esensi jamu kepada generasi milenial dan seterusnya. Sangat miris bahwa warga lokal khususnya milenial lebih memilih minuman kekinian dan tidak mengenalkan jamu kepada anak-anaknya. Maka tak heran jika anak zaman sekarang tidak suka minum jamu akibat terpapar minuman yang tinggi kadar gulanya.

Alangkah baiknya, milenial mulai mengubah kebiasaan dengan mengurangi konsumsi bubble tea dan minuman kekinian lainnya. Sehingga kebiasaan itu menular kepada anak, adik atau keponakan. Yuk mulai konsumsi jamu dari sekarang, jangan nunggu dicuri negara lain, baru bertindak.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak