Kesehatan mental jadi bagian penting kehidupan saat ini. Mensana In Corpore sano (Di dalam jiwa yang sehat terdapat jiwa yang kuat), kiranya seperti itu pepatah mengatakan mengenai kesehatan jiwa penting untuk digalakan. Bila jiwa yang kita miliki ternyata sedang tidak baik-baik saja alias sering mengalami tekanan, acap kali dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusianya.
Kesehatan mental jadi permasalahan serius di negeri ini. Pasalnya, kesehatan mental berpengaruh pada sikap seseorang dalam menyikapi hidup ini yang sering kali tidak sesuai dengan ekspektasi yang dikehendaki.
Laporan Indonesia National Adloscent Mental Health Survei (I-NAMHS), bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10-17 tahun punya masalah kesehatan mental. Tak hanya itu, 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Indonesia yang digadang-gadang bakal menuai kemumpunannya dalam menjemput Indonesia Emas di tahun 2045, sedikit tersendat oleh temuan memilukan menyoal kesehatan mental penerus-penerusnya.
Dilansir dari laman Universitas Gadjah Mada (UGM) kisaran 15,5 juta dan 2,45 juta remaja terjangkit penyakit mental. Generasi masa depan adalah generasi yang bakal mengisi dan menggerakan bangsa ini. Bila saja diri mereka tidak stabil karena kesehatan mental, maka akan berakibat pada produktifitas untuk bangsa ini.
Kasus seperti bunuh diri hingga menyakiti diri sendiri, memberikan secarik perenungan bagaimana kesehatan mental perlu diatasi.
Kesehatan mental tidak terlihat, namun dirasakan oleh setiap manusia. Bahagia, gusar, dan gundah silih berganti mempengaruhi emosi manusia. Apabila tidak diatasi dengan mengenali diri sendiri, maka akan berakibat fatal. Emosi dapat diatur dengan beberapa cara antara lain; Meditasi, membaca buku dan melatih emosi.
Mengetahui diri sendiri berarti kita perlu membaca, menelisik, mengetahui apa yang ada dalam benak kita. Hidup ini adalah runtutan sebuah fenomena, dimana manusialah yang menghadapi dan merasakannya. Kendati demikian, proses mengamati, merasakan, hingga menyikapi tak luput dari sikap umat manusia. Socrates acap kali kita ketahui sebagai filsuf Yunani Kuno bahwa tugas utama manusia untuk mencari kebijaksanaan dengan mengenali diri sendiri dan jangan berlebihan (Gnothi seuton, meden agan).
Perkembangan zaman memaksa manusia untuk menyesuaikan dengan keadaan. Istilah workaholic sering muncul dibeberapa pendiskusian mengenai mental health, salah satu bukti bagaimana manusia sering kali tercerabut guna menyesuaikan diri dengan kondisi hari ini yang serba dikejar oleh waktu dan uang. Syahdan, dengan kondisi seperti itu sering kali kesulitan untuk mengenali diri sendiri.
Mengenali diri dengan sastra
Menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M dalam Apresiasi Kesusastraan (Gramedia Pustaka, 1986) menyigi bagaimana pentingnya sastra dalam relung hidup manusia. Sastra digunakan sebagai kontemplasi pengenalan diri umat manusia atas realitas waktu melalui sebuah pengisahan yang luput dari empirisme kita. Melalui karya sastra itulah, manusia akan lebih bijak dan tenang mengambil pembelajaran dari kisah demi kisah yang dijelentrehkan melalui kata-kata dalam karya sastra.
Manusia membutuhkan sastra untuk bersanding dan merengguh kewarasan. Sebuah studi yang dilaksanakn oleh National Library of Medicine membuktikan bahwa metode eksplorasi untuk merawat kelompok yang mengidap penyakit mental dengan menyandingkan pasien untuk bertemu dan membaca karya-karya sastra. Hasilnya sangat menarik. Sejumlah 12 hingga 15 pasien kondisi emosinya semakian membaik ditambah tingkat gemar literasinya meningkat.
Ada beberapa manfaat apabila kita membaca karya sastra menurut Jakob Sumardjo dan Saini K.M antara lain; Pertama, karya sastra memberi kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini. Dari padanya, kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang manusia, dunia dan kehidupan.
Kedua, karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Dengan membaca setiap kata, bait dan paragraf, kita diketemukan dengan sebuah makna yang membuat pembaca menjadi gembira dan puas.
Ketiga, Karya sastra dapat memberikan pembaca untuk menghayati secara dalam terhadap apa yang telah diketahui. Karya-karya sastra itu menyajikan pembaca untuk merenungkan makna mengenai moral yang dapat direfleksikan menjadi sebuah pembelajaran penting untuk dapat direfleksikan mengetahui makna hidup.
Misalnya karya Harimau-Harimau gubahan Mochtar Lubis, memberikan petuah, seharusnya manusia harus menghindari takhayul yang sering kali membawa manusia kepada kejumudan.
Keempat, karya sastra adalah karya seni; indah dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannya. Manusia membutuhkan keindahan untuk mengisi seluk-beluk pelik kehidupan di dunia. Sastra menyuguhkan keindahan jasmaniah yang di dalamnya terselip kebutuhan pengetahuan; teknologi dan ekonomi.
Tak hanya itu, karya-karya sastra seperti gubahan Danarto dan Koentowijoyo, menarik untuk kita baca kembali, guna mengasah spiritualitas manusia di tengah aras modernitas yang begitu cepat.
Mengenali diri sendiri di tengah kehidupan yang cepat, membutuhkan kesabaran dan kejernihan berpikir. Modernitas mengisyaratkan manusia agar menjemput banyak laba.
Semua itu tidaklah salah, namun bagaimana diri ini dapat mengetahui diri kita sendiri kalau saja sejengkal waktu yang kita miliki tidak kita luangkan untuk kita gunakan guna mengetahui diri ini, malah kita gunakan keseluruhannya untuk kebutuhan diluar diri sendiri, misalnya; menggunakan gawai berjam-jam. Kondisi itu sangatlah memprihatinkan sehingga membuat manusia jauh dari kemanusia dan tidak mengenali dirinya.
Manusia membutuhkan sastra untuk bersanding dan merengguh kewarasan. Sebuah studi yang dilaksanakn oleh National Library of Medicine membuktikan bahwa metode eksplorasi untuk merawat kelompok yang mengidap penyakit mental dengan menyandingkan pasien untuk bertemu dan membaca karya-karya sastra.
Hasilnya sangat menarik. Sejumlah 12 hingga 15 pasien kondisi emosinya semakian membaik ditambah tingkat gemar literasinya meningkat.
Kesehatan mental itu hak bagi seluruh manusia. Sudah saatnya kita melibatkan sastra sebagai kawan untuk merengguh kesehatan mental. Kesehatan itu hak seluruh umat manusia tanpa embel-embel apapun.