Novel Pasar Gubahan Kuntowijoyo: Menilik Kuasa di Dalam Pasar

Hikmawan Firdaus | Ghaniey Al Rasyid
Novel Pasar Gubahan Kuntowijoyo: Menilik Kuasa di Dalam Pasar
Novel Pasar gubahan Kuntowijoyo diterbikan oleh Divapress dan Mata Angin pada tahun 2017.[Dok. Pribadi]

Sebuah novel bikinan Kuntowijoyo, memberikan gambaran mengenai pasar. Dalam benak kita, pasar dipahami sebagai ruang bertemunya penjual dan pembeli. Bila kita menilik, novel Pasar, kita diajak untuk menelusuri silang sengkarut pasar lebih mendalam. Bukan hanya persoalan jual dan beli. Disitu tersemat sebuah penggambaran bagaimana riuh gemertak pasar, hingga persoalan kuasa bersemayam dengan detil di dalam pasar.

Bila kita membayangkan pasar, disitu kita seketika akan mengidu aroma menguar khas pasar. Bawang bombai yang bertumpuk menggunung, daging-daging segar yang terpancang menggelantung, hingga gemuruh gemingan para pengunjung yang menyerupai lebah yang beterbangan. Pasar, dari waktu ke waktu menjadi saksi, aras hidup manusia.

Di samping memang galibnya menyediakan kebutuhan umat manusia, pasar tentunya tak dapat ditilik sesempit itu. Bila kita mendatanginya, di situ tersemat sebuah kisah yang menggugah, seperti yang dituliskan oleh Kuntowijoyo.

Mulanya adalah burung merpati. Kuntowijoyo menyiratkan merpati sebagai topik pembikin riuh pada novel. Tokoh dalam cerita, Mantri pasar berkuasa atas keberadaan pasar itu. Ia begitu mencintai ratusan burung merpati yang beranak-pinak di tengah hiruk-pikuk pasar.

Kendati pasar begitu ramai dengan segala tetek-bengeknya, para pedagang acap kali dihinggapi kerugian. Burung-burung itu membuang kotoran sembarangan hingga mengaduk-ngaduk barang dagangan bahkan lebih parahnya, mendamprat dagangan para pedagang tanpa permisi.

Kesabaran memiliki batas, para pedagang geram dengan memulai pergunjingan mengenai burung merpati Mantri Pasar. Kotoran burung itu membikin kumuh pasar, tak hanya itu pasar alhasil menjadi tak enak untuk dijajaki. Para pedagang melontarkan kritik, bahkan ada pula yang berani memberikan teror dengan menyembeli burung merpati milik pak Mantri.

“Tahulah orang: seekor burung merpati yang berdarah telah dilempar ke tengah kerumunan itu. Cipratan darah itu telah mengejutkan perempuan itu.” (Hlm. 41)

Para pedagang kesal. Mereka menuntut agar burung merpati itu tak singgah di tengah hiruk-pikuk pasar. Meski lontaran kritik terhimpun mengetuk telinga Mantri Pasar. Ia memutuskan untuk tutup telinga dan melakukan pembelaan, bahwa burung merpati memiliki hak untuk hidup seperti halnya manusia.

Dalam hal ini Kuntowijoyo cukup berhasil dalam menggambarkan kausalitas antara penguasa dan pedagang kecil. Para pedagang yang menyandarkan hidupnya di pasar, harus memberikan sejumput uang sewa bertanda karcis. Walaupun, fasilitas yang tak seberapa.

Mantri Pasar hanya membutuhkan karcis dan segunung uang. Ia menutup mata dan telinga bila keluh kesah warga pasar, walaupun nantinya menjadi sadar. Meskipun, Mantri dalam karakternya yang keuekeuh disitu tersirat sebuah sikap.

“Kita berlomba dalam memberi servis masyarakat. Itulah ilmu dagang. Pegawai tak punya ilmu ini. Kau anggap pedagang-pedagang, di pasar mesti melayanimu, dan bukan sebaliknya. Kalau ingin jadi feodal jangan kerja macam begini. Masyarakat tak butuh lagi semangat ini.” (Hlm. 114).

Mantri pasar ingin terbuka. Ia membuka dialog meredam amarah warga pasar menyoal burung daranya yang mengusik aktivitas mereka. Tak hanya itu, Mantri Pasar turut memikirkan pula Bank yang berada di sekitar pasar mengalami pailit.

Meskipun ramai bergemuruh, pasar Sepi. Tokoh Zaitun sebagai teller bank menampilkan kegundahannya ketika bank yang ia singgahi nampak lesu. Pak Mantri ingin mengulurkan tangan, dengan cara berbeda.

“Soalnya, Bank Pasar dimaksudkan untuk menolong rakyat kecil. Bukan untuk jatuh dalam monopoli orang kaya. Itu tidak sesuai dengan undang-undang negara kita. Apalagi orang-orang yang kayanya entah dengan cara apa itu.” (Hlm. 123).

Kuntowijoyo membicarakan kuasa di tengah hiruk-pikuk pasar. Pak Mantri sebagai kelas priyayi agaris, camat dan polisi sebagai represntasi kelas penguasa dan para pedagang pasar sebagai wong cilik yang sabar dalam meniti hidup.

Penulis mungkin lupa untuk menyematkan satu karakter penting di dalam pasar. Adalah ‘preman’. Kelompok itu tak dapat dipandang remeh. Menyitir, Ian Douglas Wilson dalam Politik Jatah Preman (Marjin Kiri, 2024), keberadaan preman bisa dikata cukup vital di tengah-tengah lalu-lalang modal dalam hal ini ialah pasar. Tokoh Paijo belum cukup kuat bila disandingkan sebagai preman. Paijo lebih kepada tangan kanan Pak Mantri yang acap kali disia-siakan Mantri Pasar.

Preman memiliki alur politiknya sendiri. Ia memiliki alur ideologis yang dibentangkan di tengah-tengah realitas. Bila Kuntowijoyo menyematakannya, dentuman alur cerita semakin menegangkan, penuh sarat tentang kuasa, harga diri dan intrik. Sekian.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak