Cuaca tak menentu, suhu udara semakin panas, bongkahan es di kutub utara mencair, dan krisis membayang-bayangi makhluk hidup kala bumi menampakkan kekesalannya menyangga peluh derita.
Kiwari kegelisahan menyembul membasahi rasa juga karsa umat manusia merefleksikan tindak lakunya menjajakan kaki di bumi ini.
Beberapa hal mulai diamati juga dikoreksi agar manusia tak terjerembab oleh kubangan kebangkrutan masa depan atas tingkah lakunya sendiri.
Keresahan Homo Homini Lupus (Manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) milik Thomas Hobbes itu nampaknya menyebar menjadi keresahan bagi makhluk hidup lainnya.
Menggunakan lahan untuk tempat tinggal, membabat hutan perawan untuk diambil sumber daya alamnya, dan merelakan lahan subur dialihfungsikan menjadi kondominium untuk meraup laba sebesar-besarnya.
Lynn White kita kenal sebagai sejarawan yang juga menggandeng etika lingkungan untuk membaca perjalan hidup manusia, menyuguhkan penyampaian kritis juga reflektif mengenai sikap umat manusia.
Lynn White mengkritik konsep antroposentrisme, bahwa manusia sering menomorduakan ‘alam’ yang ia pijak sebagai objek yang galibnya dapat dieksploitasi sesuai dengan kebutuhannya.
Selanjutnya, keluh kesah dan penyesalan datang menyusul kala kerusakan, krisis dan kekurangan membayang-bayanginya.
Menurut Aldo Leopold manusia harus menekankan konsep deep ecology. Secara bahasa berarti manusia harus melibatkan alam dari setiap langkah yang mereka lakukan. Pembangunan dan perubahan harus melibatkan alam.
Apakah yang manusia lakukan baik untuk jangka panjang bumi ini? Atau malah kebalikannya?
Perkembangan ide umat manusia melahirkan pelbagai terobosan di setiap relung-relung hidup mereka. Penemuan mesin uap di awal abad ke-18 oleh James Watt melahirkan efek domino kepada perkembangan aspek lainnya seperti; industri, perdagangan, ekonomi dan politik.
Eropa jadi tonggak awal bagaimana pertaruhan antara dua pilihan ketika mesin uap ditemukan. Lahan industri atau lahan hijau yang menjanjikan kedamaian dirombak jadi peandangan konvensional. Kiwari tak hanya Eropa, seluruh dunia mulai merasakan imbasnya.
Keresahan dalam Novel
Novel gubahan Jostein Gaarder berjudul Dunia Anna (Penerbit Mizan, 2005) membeberkan makna penting bagaimana alam adalah satu kesatuan bagi umat manusia yang tak dapat dipisahkan.
Dengan memerankan tokoh bernama Nova aka Anna yang diajak untuk merenungkan dunia seiisinya. Keresahan dekandensi alam akibat tingkah laku manusianya sendiri.
“Efek rumah kaca suatu saat akan menjadi-jadi, dan kemungkinan terburuknya ialah suhur rata-rata bumi akan meningkat enam sampai delapan derajat. Maka semua lapisan es di bumi akan mencair dan akan terus meningkat…” (Hlm 28, Dunia Anna, Penerbit Mizan, 2015)
Efek rumah kaca terjadi ketika pemanasan global dari lapisan gas yang menyelimuti bumi di lapisan atmosfer.
Lapisan gas yang menyelimuti itu menyebabkan panas matahari yang masuk ke dalam bumi tidak bisa keluar dari lapisan atmosfer, sehingga atmosfer, laut dan bumi semakin panas.
Menurut laporan IPCC suhu bumi pada periode 1900-2100 akan meningkat antara 1,1-6,4 derajat. Kondisi demikian diakibatkan oleh efek rumah kaca yang menyebabkan bumi semakin panas. Efek yang ditimbulkan seperti yang disampaikan Nova.
Peningkatan suhu menurut IPCC disebabkan oleh menjulangnya pengeluaran karbondoksida dan beberapa komponen kimia yang menyebabkan bumi tidak bisa seyogyianya melakukan mekanisme alam secara semestinya.
“Nova menatap ke layar lagi dan tampaklah sebuah tempat yang dahulunya adalah kawasan hutan tropis Amazon, kini telah menyusut menjadi padang rumput terbesar di dunia.” (Hlm. 41, Dunia Anna)
Alih fungsi lahan seringkali merabunkan umat manusia dengan alasan lebih memiliki profit. Hutan perawan itu bukan hanya ditumbuhi oleh aneka ragam hayati yang ada di dalamnya. Dalam kacamata lain, hutan perawan itu memiliki komoditas yang menggiurkan seperti emas yang ada di bukit Cartenz.
Tak hanya emas, bahkan komoditas seperti batu bara, nikel, hingga uranium lebih menggiurkan dalam hal laba dibandingkan meruwat hutan gambut yang lebat.
Mekanisme ekonomi untuk mengelolah menjadi sebuah nilai lebih tidak dapat dipungkiri pengaruhnya. Para ekonom banyak yang melipat kertas kerjanya untuk merenungkan kembali pelbagai analisa dan teori tentang ekonomi untuk tujuan pendapatan. Adalah Prof. Dr. Wassily Leontief.
Beliau adalah peraih nobel ekonomi di tahun 1973, yang menyuguhkan ide briliannya mengenai ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Penemuannya dinamakan Model Leontief. Model Leontief ini mengingatkan para pengusaha untuk memikirkan efek-efek yang ditimbulkan dari proses produksi.
Bagi Loentief apabila para praktisi ekonom mengenyahkan pembacaan ekonomi dan lingkungan, maka akan kembali berimbas pada diri perusahaan sendiri cepat atau lambat.
Narasi Leontief itulah memantik perkembangan pemikiran mengenai ekonomi dan lingkungan. Konsep ekonomi hijau alhasil menyembul guna mengatasi pelik-pelik yang dihasilkan dari banyaknya ranah produksi yang menjulang.
Mekanisme pajak karbon yang baru-baru ini hadir adalah proses praktik dari perenungan untuk dapat mengatur pelik-pelik iklim yang meresahkan.
“Kami masih muda. Kami akan bersaksi bahwa krisis iklim bukanlah sebuah konflik antarbangsa. Hanya ada satu atmosfer, dan dari luar angkasa tidak dapat dibedakan batas-batas negara. Yang saling berhadapan dalam konflik ini ialah generasi-generasi, dan kami sebagai generasi muda saat ini adalah korban dari semua bencana iklim.” (Hlm. 198, Dunia Anna).
Pajak karbon adalah salah satu terkecil untuk mengatasi krisis iklim yang membabi buta. Mekanismenya adalah menarik rupiah dari total jumlah produk yang menghasilkan bahan kimia yang beresiko merusak lingkungan.
Umat manusia akan terus memikirkan bagaimana bumi yang ia pijak tetap laik untuk ditinggali. Pemaknaan deep ecology, sekali lagi perlu dipahami agar manusia paham secara total mengatasi krisi iklim yang tak instan.