Pemilu 2024 dan Pengulangan Alasan oleh Pihak-Pihak yang Kalah Kontestasi

Sekar Anindyah Lamase | M. Fuad S. T.
Pemilu 2024 dan Pengulangan Alasan oleh Pihak-Pihak yang Kalah Kontestasi
Ilustrasi pemilu. (Suara.com/Ema Rohimah)

Tanggal 14 Februari 2024 menjadi hari yang bersejarah bagi perjalanan demokrasi negara ini. Setelah melalui berbagai tahapan, hari puncak Pemilihan Umum atau Pemilu pun akhirnya terlaksana.

Selain mempertarungkan para calon legislatif di tiga tingkatan dan calon DPD, pesta demokrasi rakyat ini juga mengusung kontestasi yang tak kalah prestisius, yakni pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Seperti kita ketahui bersama, dalam kontestasi politik memperebutkan status sebagai orang nomor satu dan dua di republik Indonesia tersebut diikuti oleh tiga pasang calon. Mereka adalah Anies Rasyid Baswedan yang berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, kemudian Prabowo Subianto yang bergandengan dengan Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo yang berkolaborasi dengan Mahfud MD.

Namun sayangnya, di tengah kontestasi membara ketiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut, masih saja tersemat alasan berulang yang selalu muncul dalam rentangan siklus lima tahunan.

Belum juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan hasil resmi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, suara-suara sumbang terkait pelaksanaan Pemilu kali ini sudah muncul jauh-jauh hari.

Iya, siapapun pihak yang kalah dalam kontestasi politik tahun ini, mereka mengusung alasan yang sama, yakni kalah karena adanya tindak kecurangan dari si pemenang. 

Seperti contoh rilisan laman Suara.com pada Kamis (15/02/2024), Hasto Praswtowo, salah satu politisi senior dari partai besar Indonesia bahkan telah menyatakan bahwa terjadi fenomena overshooting yang melibatkan penguasa serta pemerintahan dengan tujuan untuk memenangkan pasangan calon tersebut.

Tentu saja tudingan-tudingan senada seperti ini sangat bejibun jumlahnya, dan selalu dimunculkan oleh mereka yang berada di pihak non pemenang.

Narasi seperti ini juga selalu muncul setiap lima tahun sekali. Di mana mereka yang ada di pihak bukan pemenang, selalu membangun tumpukan alasan yang berfondasikan terjadi kecurangan untuk keperluan pihak-pihak tertentu.

Melansir laman Suara.com, Prabowo Subianto yang kala itu berkontes melawan Joko Widodo di perebutan kursi RI-1, juga menuding terjadi kecurangan saat pemilihan presiden berlangsung.

Pun demikian dengan Pilpres edisi 2019 lalu. Sepertimana melansir laman suara.com (7/5/2019), Prabowo Subianto yang kembali kalah dalam kontestasi pemilihan presiden, menuding terjadi kecurangan yang struktural, masif dan terorganisir dari kubu Joko Widodo yang kembali menang Pilpres.

Bahkan dalam menyikapi kekalahannya tersebut, Prabowo sampai melakukan pers rilis dengan para wartawan asing untuk memberitahukan parahnya kecurangan Pemilu di negeri ini.

Dan kini, berselang lima tahun dari pesta demokrasi tersebut, suara-suara terjadinya kecurangan mulai meninggi dan nyaring. Lagi-lagi dari mereka yang ada di kubu bukan pemenang.

Ah, bukankah dalam setiap pertarungan harusnya semuanya siap untuk menang dan siap pula untuk kalah? Bukankah itu yang ada dalam diri sosok negarawan sejati?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak