Merdeka Belajar dan Proyeksi Indonesia 2045: Sebuah Pendekatan Multidimensi

Hernawan | Finahmad Fadholah
Merdeka Belajar dan Proyeksi Indonesia 2045: Sebuah Pendekatan Multidimensi
Ilustrasi sekolah (unsplash.com/Kenny Eliason)

Dalam keramaian perbincangan tentang masa depan pendidikan Indonesia, gagasan Merdeka Belajar muncul sebagai angin segar yang menjanjikan perubahan signifikan. Namun, apakah Merdeka Belajar mampu menjadi fondasi kuat yang menopang visi Indonesia 2045? Mari kita telusuri lebih dalam, tentunya dengan sentuhan opini nyeleneh yang mungkin bisa menggugah pikiran.

Pertama-tama, kita perlu memahami esensi dari Merdeka Belajar. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan bahwa "Merdeka Belajar adalah sebuah kebijakan yang memberikan kebebasan kepada guru dan siswa untuk berinovasi dan bereksplorasi dalam proses belajar mengajar" (Makarim, 2021). Di atas kertas, konsep ini terdengar sangat ideal. Namun, apakah implementasinya bisa sejalan dengan visi Indonesia 2045 yang mencita-citakan negara maju dengan sumber daya manusia unggul?

Sebagai penulis yang mencoba untuk selalu optimis, penulis melihat Merdeka Belajar sebagai sebuah revolusi pendidikan yang perlu didukung oleh semua pihak. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai tantangan yang ada. Infrastruktur pendidikan di Indonesia masih sangat timpang, dengan banyak sekolah di daerah terpencil yang bahkan tidak memiliki fasilitas dasar. Bagaimana kita bisa berharap pada kebebasan belajar jika akses terhadap pendidikan yang layak saja masih menjadi masalah?

Mari kita kilas balik sejenak ke masa lalu. Pendidikan di Indonesia, sejak zaman kolonial hingga reformasi, selalu berada di bawah kendali sentralisasi yang ketat. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan nasional, pernah berujar, "Pendidikan itu memerdekakan" (Dewantara, 1935). Ironisnya, selama bertahun-tahun, pendidikan kita justru terbelenggu oleh aturan-aturan yang kaku. Merdeka Belajar mencoba memutus rantai ini dengan memberikan kebebasan lebih besar kepada guru dan siswa. Namun, kebebasan ini perlu diimbangi dengan tanggung jawab dan dukungan yang memadai.

Dalam perspektif sosiologis, Merdeka Belajar dapat dilihat sebagai upaya untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan adaptif terhadap perubahan sosial. Sosiolog terkenal, Emile Durkheim, berpendapat bahwa "Pendidikan adalah cara untuk menyiapkan individu agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sosial mereka" (Durkheim, 1977). Dalam konteks ini, Merdeka Belajar berpotensi menciptakan individu yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan masa depan. Namun, sekali lagi, ini semua tergantung pada bagaimana kebijakan ini diimplementasikan.

Filosofisnya, Merdeka Belajar sejalan dengan gagasan John Dewey tentang pendidikan progresif. Dewey percaya bahwa "Pendidikan adalah proses yang dinamis dan harus beradaptasi dengan kebutuhan individu dan masyarakat" (Dewey, 1938). Merdeka Belajar, dengan segala kebebasan yang ditawarkannya, berusaha menjawab tantangan ini. Namun, di sisi lain, kita harus waspada terhadap potensi ketimpangan yang mungkin terjadi. Tanpa dukungan dan pengawasan yang ketat, kebijakan ini bisa jadi hanya menguntungkan mereka yang sudah berada dalam posisi yang lebih baik.

Dari sudut pandang yuridis, Merdeka Belajar didasarkan pada berbagai regulasi yang mendukung otonomi pendidikan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya" (UU Sisdiknas, 2003). Merdeka Belajar berusaha menerjemahkan semangat ini ke dalam praktik nyata di lapangan. Namun, bagaimana kita bisa memastikan bahwa setiap sekolah, setiap guru, dan setiap siswa benar-benar memahami dan mampu menerapkan konsep ini?

Satu hal yang menarik adalah bagaimana Merdeka Belajar bisa menjadi katalisator untuk inovasi. Dalam seminar pendidikan, Nadiem Makarim pernah berkata, "Inovasi tidak bisa terjadi dalam lingkungan yang terbelenggu oleh aturan-aturan kaku" (Makarim, 2022). Kebijakan Merdeka Belajar memberikan ruang bagi guru untuk mencoba metode-metode baru, yang diharapkan bisa memicu munculnya inovasi dalam proses pembelajaran. Namun, inovasi ini tidak akan terjadi jika guru-guru kita tidak diberi dukungan dan pelatihan yang memadai.

Berbicara tentang proyeksi Indonesia 2045, kita harus berpikir jauh ke depan. Visi Indonesia Emas 2045 adalah menjadi negara maju dengan perekonomian yang kuat dan sumber daya manusia yang unggul. Pendidikan, tentunya, memegang peran kunci dalam mewujudkan visi ini. Merdeka Belajar, dengan segala potensinya, bisa menjadi alat yang efektif untuk menciptakan generasi yang kreatif, inovatif, dan adaptif. Namun, ini hanya akan terjadi jika kita bisa mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Kita perlu menyadari bahwa pendidikan adalah proses yang kompleks dan multidimensi. Tidak cukup hanya dengan mengubah kurikulum atau memberikan kebebasan lebih kepada guru dan siswa. Kita juga perlu memastikan bahwa semua elemen pendukung, seperti infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia, berjalan seiring dengan perubahan ini. Sebagai contoh, penggunaan teknologi dalam pendidikan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk mendukung konsep Merdeka Belajar. Namun, bagaimana dengan daerah-daerah yang masih minim akses internet?

Dalam pandangan penulis, untuk mewujudkan visi Indonesia 2045 dengan Merdeka Belajar sebagai salah satu fondasinya, kita perlu pendekatan yang holistik dan terintegrasi. Pemerintah, sekolah, guru, siswa, dan orang tua harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Tidak hanya itu, kita juga perlu melibatkan berbagai pihak lain, seperti dunia usaha dan industri, untuk mendukung dan memfasilitasi proses pembelajaran.

Dalam sebuah kesempatan, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa "Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu masa depan yang lebih baik" (Widodo, 2021). Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya pendidikan dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. Namun, pendidikan yang seperti apa? Merdeka Belajar menawarkan sebuah paradigma baru yang lebih inklusif dan adaptif. Namun, kita harus ingat bahwa perubahan besar selalu membutuhkan waktu, komitmen, dan kerja keras dari semua pihak.

Sebagai penutup, mari kita renungkan kutipan dari Paulo Freire: "Pendidikan harus menjadi alat pembebasan, bukan penindasan" (Freire, 1970). Merdeka Belajar, dalam esensinya, mencoba memerdekakan proses pembelajaran dari belenggu aturan-aturan yang kaku. Namun, apakah kebebasan ini bisa membawa kita menuju visi Indonesia 2045? Hanya waktu yang bisa menjawab.

Namun, satu hal yang pasti, kita semua memiliki peran penting dalam mendukung dan mengawal proses perubahan ini. Jika kita bisa bekerja sama dan berkontribusi, bukan tidak mungkin kita akan melihat Indonesia yang lebih baik, lebih maju, dan lebih merdeka pada tahun 2045.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak