Menjelang pentas demokrasi pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), seperti biasa, masyarakat kita disuguhkan dengan wajah-wajah calon penguasa pengemis dukungan yang menghiasi jalanan di seluruh pelosok negeri.
Demokrasi, sebuah sistem pemerintahan yang idealnya didasarkan pada suara rakyat, kini semakin terkesan seperti drama politik yang membosankan.
Perdebatan sengit, saling serang antar politisi, dan janji-janji kosong yang tak kunjung terpenuhi menjadi pemandangan lumrah di panggung politik.
Saya pun mulai jengah dan mempertanyakan esensi demokrasi di tengah realita pahit yang sedang terjadi dan memutuskan menulis keresahan ini.
Suara rakyat yang seharusnya menjadi landasan utama demokrasi, seolah tenggelam dalam hiruk pikuk politik. Politisi lebih sibuk bersaing memperebutkan kekuasaan, alih-alih memperjuangkan aspirasi rakyat.
Janji-janji manis yang dilontarkan di kala kampanye, sering kali menguap begitu saja setelah mereka menduduki kursi kekuasaan. Rakyat pun dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakpastian dan kekecewaan.
Saling serang antar politisi menjadi tontonan yang tak ubahnya drama sinetron. Perdebatan sengit di parlemen, saling tuding korupsi, dan skandal politik lainnya, seolah menjadi hiburan bagi masyarakat. Namun, di balik drama yang menghibur ini, tersembunyi kepentingan politik yang kotor dan jauh dari kepentingan rakyat.
Jangan lupakan dinasti politik yang dilestarikan oleh pemerintah!
Contoh konkretnya yaitu Gibran Rakabuming dapat mencalonkan diri sebagai wapres berkat kebaikan pamannya, Kaesang digadang-gadang menjadi calon gubernur DKI Jakarta, Bobby Nasution didukung oleh Gerindra menjadi bacalon gubernur Sumatra Utara, Bagaskara Arif didapuk sebagai Manager PT Pertamina, hingga Thomas Djiwandono diangkat menjadi Wamenkeu.
Belum lagi dinasti politik para elite pemerintah lainnya yang jarang terekspos publik dan media.
Mungkin bangsa ini sedang ditekan baik secara fisik maupun mental. Untuk memulihkan tingkat stres, masyarakat memerlukan pemimpin yang pandai melawak bukan pemimpin yang bergerak. Marshel Widianto adalah wujud nyata bobroknya sistem pemilihan kader dari partai politik.
Sedangkan bursa calon gubernur Jawa Tengah diramaikan dengan duet Dico Ganinduto dan Raffi Ahmad. Mereka bukan berasal dari kalangan biasa, apakah mereka siap menjalankan tanggung jawabnya terhadap rakyat dan menepati janji-janjinya tanpa cari muka segala?
Kekecewaan rakyat terhadap politisi dan sistem demokrasi semakin hari semakin meningkat. Janji-janji yang tak kunjung terpenuhi, korupsi yang merajalela, dan drama politik yang tak berujung, telah mengikis kepercayaan rakyat terhadap demokrasi. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan, karena dapat memicu apatisme politik dan melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Membangun kembali kepercayaan rakyat terhadap politik dan demokrasi bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan komitmen yang kuat dari para politisi untuk mengembalikan marwah demokrasi dan menunjukkan bahwa mereka benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.
Politisi harus lebih fokus pada kinerja dan pelayanan publik, bukan pada intrik politik dan perebutan kekuasaan semata.
Rakyat pun harus lebih aktif dan kritis dalam menyikapi politik.
Jangan mudah terbuai oleh janji-janji manis para politisi, dan selalu ikuti kinerja mereka! Tuntutlah mereka untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan!
Sekali lagi, demokrasi bukanlah drama politik yang membosankan jika merujuk pada makna harfiah yang sebenarnya. Demokrasi adalah sebuah perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS