Jika bicara soal kewajaran, tentu suatu umpatan atau makian yang tentu saja kasar selalu ditujukan untuk peluapan emosi dan kemarahan kepada seseorang atau sesuatu. Misalnya, ketika sedang asyiknya jalan-jalan sore, tiba-tiba kaki tersandung batu. Biasanya akan ada gerakan reflek yang disertai sebuah ungkapan kecil untuk mengekspresikan keterkejutan atau kekesalan.
Masalah umum lain, biasanya ketika ada seseorang yang memaki, secara otomatis kita akan balik memaki. Inilah budaya maki memaki. Hanya saja, masalahnya bukan hanya itu, melainkan munculnya suatu penyimpangan.
Pernah pada suatu kali, saya menyimak sebuah percakapan anak-anak. Pelakunya adalah anak-anak sekolah dasar yang entah kelas berapa. Kalau sore, biasanya anak-anak itu akan berlari dan bersepeda kian-kemari di depan masjid, yang letaknya di seberang kos saya.
Jadi, saya bisa mendengar dengan sejelas-jelasnya apa yang mereka perdebatkan atau mereka bicarakan setiap waktu. Sayangnya, saya tidak dapat menemukan intisari percakapan itu, selain belasan umpatan yang selalu mereka gaungkan setiap kali mulut mereka terbuka.
Barangkali saya yang kuno, lahir dari generasi yang mendidik dengan keras seperti era-era penjajahan, karena tidak terbiasa dengan ungkapan yang seenteng itu diucapkan oleh anak-anak kecil, di depan rumah ibadah pula. “Nggak gitu, tol*l!”, “Gua pukul lo, anj**g!”, “Halah, ngen***”, dan masih banyak lagi yang sempat saya rekam dalam ingatan saat itu.
Dulu di generasi kecil saya, salah satu kata di sini saja muncul, bayarannya adalah sabetan daun kelapa (blarak) atau sapu lidi di betis, belum lagi ditambah jeweran di telinga, atau jambakan rambut. Lengkap sudah penderitaan itu, jika kata ajaib itu berani terbit dari mulut kami.
Lantas, apakah globalisasi membolak-balikkan aneka generasi dan aturannya sehingga ungkapan kasar ini menjadi normal di kalangan anak-anak dan remaja?
Lebih terkejutnya lagi, orang-orang tua atau penduduk setempat yang kebetulan lewat atau berada di sekitar tempat itu diam mematung saja. Tidak peduli dengan apa yang anak-anak lakukan di depan gawai mereka sambil berkoar-koar kasar. Barangkali mereka sudah kehabisan energi untuk menasihati, atau sudah tidak punya cara lagi untuk mengobati penyakit anak-anak ini.
Dalam suatu waktu, saya juga menemukan orang tua kandung dari si anak yang dibentak habis-habisan dibumbui dengan makian yang tidak senonoh itu. Si ibu ini, tetap halus nada bicaranya, barangkali menjaga image di depan umum, atau memang sudah menyerah untuk menghentikan kebiasaan anaknya ini.
Saya pikir fenomena ini hanya terjadi di kota, sebab sebagian besar waktu saya kini dihabiskan di kota, bukan lagi di desa yang asri dan tenang itu. Ternyata, program pemerintah yang ada di kampus sedikit membukakan mata saya bahwa di mana pun, di era ini, budaya umpat-mengumpat, lomba bicara kasar, dan sebagainya sudah merasuki diri anak-anak, dari yang belum sekolah sampai paling besar, ya, seumuran SMA/SMK. Lagi-lagi saya terkejut, memangnya budaya dan norma baik sudah kalah dengan aturan dunia digital yang direalisasikan dalam kehidupan nyata?
Mengapa dunia digital diseret dalam masalah ini? Ada banyak faktor yang perlu direfleksikan. Meskipun dunia digital tidak secara langsung bertanggung jawab atas lunturnya norma Pancasila yang dihidupi warga negara ini, tetapi penggunanya adalah salah satu kaki tangan yang perlu dikomentari.
Pertama, dunia digital atau media sosial tidak mengenal kepada siapa kita bicara. Tua, muda, pejabat, atau rakyat, semua sama. Apalagi profil yang tidak jelas asal usulnya. Si A bisa menjadi Si B dengan identitas yang berbeda. Dalam beberapa kasus, ada banyak kegiatan penipuan yang memakan banyak korban, tidak terkecuali eksploitasi dan kekerasan anak di dalamnya.
Kedua, media sosial mulai tidak membatasi usia pengguna dengan identitas yang bisa saja dipalsukan, konten-konten yang sulit dikendalikan, dan sebagainya. Tren, sebagai sisi positif tentu dapat dimaksimalkan untuk kebutuhan-kebutuhan dari berbagai sektor, terutama ekonomi dan bisnis. Sayangnya, sisi negatifnya juga masih berjalan beriringan, misalnya perjudian, kecurangan, penipuan, dan tidak terkecuali fenomena bahasa kasar yang menggerus generasi muda kita.
Sama seperti fashion, bahasa juga memiliki trennya sendiri. Anak muda belakangan ini ingin sekali dianggap keren dan kekinian, sembari menggali jati diri, katanya. Salah satu caranya ya dengan mengikuti gaya bicara yang lagi hits, meskipun itu adalah bahasa kasar. Konten kreator dan gamers yang memunculkan ciri khasnya sendiri dalam keperluan meningkatkan subscribers atau followers lebih banyak enggan memikirkan dampak buruk yang diserap oleh anak-anak yang lolos dari pengawasan orang dewasa ketika melihat konten mereka. Toh, ujung-ujungnya peran orang tua akan dipojokkan, sementara karier mereka semakin melejit tanpa ada pengaruh sedikit pun.
Ketiga, pengaruh lingkungan. Faktor ketiga ini adalah faktor paling umum dari kedua faktor sebelumnya. Kalau lingkungannya terukur toxic, ya, bisa dipastikan produk-produknya pun ikut kecipratan toxic-nya. Biasanya, orang tua yang mewanti-wanti kemungkinan ini akan mengirim anaknya ke asrama atau kota yang dipandang bisa membantu anaknya berkembang dan bertabiat baik sehingga ketika mereka pulang nanti ada yang bisa dibanggakan oleh keluarga.
Mirisnya, ada keterbatasan juga dalam masyarakat untuk mengupayakan ini, entah dari diri mereka sendiri atau memang dari keterbatasan ekonomi. Beberapa anak menjadi korban dengan hidup di tengah kekasaran lingkungan mereka, dari rekan sebaya, atau keluarga.
Guru di sekolah, yang punya peran sama dengan orang tua di rumah juga kewalahan. Ini yang saya lihat dari para guru yang ada di sekolah-sekolah tempat program kami dilaksanakan. Aturan sekolah sudah pas, guru-guru sudah tegas, anak-anak masih saja kelewat bebas. Mau dikerasi lagi, nanti mereka berdalih dan membela diri di balik HAM dan konten media sosial. Guru kalah lagi ketika anak-anak sekolah ini membawa orang tua atau jalur hukum, padahal niatnya mau mendidik karena cara halus tidak lagi mempan.
Memangnya apa yang terjadi jika budaya mengumpat ini tetap dilestarikan untuk jangka panjang? Tentunya, bahasa Indonesia sebagai bahasa yang dijunjung tinggi seperti pada Sumpah Pemuda akan rusak kualitasnya, budaya bangsa akan luntur, bahkan parahnya ini bisa memperburuk citra bangsa di mata dunia. Indonesia terkenal sebagai negara yang ramah, lantas sedikit lagi apakah akan dikaruniai julukan sebagai negara dengan warga yang kasar?
Penggunaan bahasa kasar dapat membuat seseorang terlihat tidak sopan, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki kontrol diri. Di banyak budaya, termasuk Indonesia, kesopanan dan rasa hormat merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Penggunaan bahasa kasar dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ini dan dapat dianggap sebagai tanda kurangnya pendidikan dan budi pekerti. Selain itu, bahasa kasar dapat membuat komunikasi menjadi tidak efektif karena orang lain mungkin fokus pada aspek kasarnya daripada pesan yang ingin disampaikan.
Usut punya usut, anak zaman sekarang dengan membawa fenomena ini, menjadikan bahasa-bahasa dan ungkapan tersebut menjadi tidak bermakna lagi. Mengapa? Alih fungsi dari luapan emosi menjadi bumbu penyedap dalam percakapan sehari-hari membuat ungkapan-ungkapan kasar itu tidak lagi berbau negatif atau menghina alias kehilangan makna aslinya.
Memang dalam suatu kajian ilmu komunikasi, semakin dekat hubungan kekeluargaan dan pertemanan seseorang dengan orang lain, maka semakin tidak santun bahasa komunikasinya. Misalnya saja, sahabat karib mungkin tidak akan tersinggung ketika dirinya dipanggil babi, anjing, atau monyet oleh teman-teman setongkrongan mereka. Beda halnya ketika itu dilontarkan kepada orang asing, bisa-bisa kita dipukuli oleh mereka.
Ungkapan kasar ini mirip-mirip dengan bullying. Hanya saja, bisa dikatakan sebagai bullying ketika tujuannya untuk merendahkan, bukan sebagai peluap emosi semata. Pun jika yang dilontarkan umpatan tidak tersinggung, fenomena ini tidak bisa diklaim sebagai aktivitas bullying. Itu konsep yang bisa dipahami oleh orang dewasa atau manusia-manusia muda peralihan ini.
Jadi, anak-anak masih belum bisa memutuskan dan memikirkan konsep rumit ini. Bagi mereka, orang dewasa itu keren. Apa yang dilakukan orang dewasa itu selalu menakjubkan. Jadilah ketika orang dewasa terbiasa berbicara kasar, maka anak-anak akan menganggapnya keren dan dengan senang hati mengikutinya.
Kalau dari keluarga dan sekolah sudah mengupayakan dengan maksimal, tetapi masih saja belum bisa dikendalikan, maka satu-satunya cara adalah refleksi diri dan penguatan ilmu keagamaan. Tentunya, dengan memperbaiki generasi muda melalui manusia-manusia dewasa seperti kita, dapat memperingan beban masyarakat sehingga generasi muda tidak rusak oleh omongan kasar dan perilaku tidak beretika lainnya.
Bicara kasar atau mengumpat memang sedang tren, tetapi bukan berarti kita harus ikut-ikutan. Kita harus bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Ingat, kata-kata yang baik akan membawa kebaikan, begitu pula sebaliknya. Jadi, mulai sekarang, mari kita biasakan diri untuk menggunakan bahasa yang sopan dan santun kepada siapa saja. Kita kembalikan lagi nilai Pancasila yang ditanamkan dalam diri kita sejak masih belajar membaca dan menulis itu.