Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
Ilustrasi bayi baru lahir (pexels/Rene Terp)

Dalam euforia menyambut kelahiran seorang anak, sering kali masyarakat lupa bahwa perjuangan paling berat justru dimulai setelah proses persalinan selesai. Ketika tamu mulai jarang datang, hadiah telah dibuka, dan foto-foto kebahagiaan dibagikan ke media sosial, seorang ibu mulai berhadapan dengan kesunyian yang tak terduga. Di situlah benih-benih depresi pascamelahirkan mulai tumbuh, diam-diam, namun menghancurkan.

Penelitian berjudul “The Influence of Family Function, Social Support, and Infants’ Health on Mothers’ Postnatal Depression” oleh Nurfurqoni dkk (2024) menggambarkan dengan terang bagaimana depresi pascanatal bukanlah fenomena psikologis yang muncul secara tiba-tiba atau terjadi dalam ruang hampa. Sebaliknya, ia merupakan hasil dari serangkaian tekanan sistemik, relasional, dan emosional yang dialami perempuan ketika memasuki fase baru sebagai seorang ibu.

Fungsi keluarga menjadi titik awal yang krusial. Dalam banyak kasus, keluarga seharusnya menjadi tempat perlindungan, tempat di mana ibu merasa dipahami, didampingi, dan dibantu dalam menjalani transisi besar yang menguras energi fisik maupun mental. Namun pada kenyataannya, banyak perempuan justru mendapati bahwa struktur keluarga sering kali gagal menjalankan fungsi dasarnya. Ketimpangan peran gender masih sangat kental dalam budaya kita, di mana beban pengasuhan hampir sepenuhnya ditanggung oleh ibu. Ayah sering kali hanya menjadi penonton yang kadang-kadang membantu, bukan aktor utama yang berbagi tanggung jawab. Lebih jauh, komunikasi dalam keluarga yang buruk, kurangnya empati dari mertua atau saudara, serta tekanan kultural yang menuntut ibu selalu tampak “kuat” dan “berdaya” membuat beban emosional itu tak tertahankan.

Di luar struktur internal keluarga, dukungan sosial dari lingkungan sekitar ternyata juga tidak selalu hadir secara efektif. Banyak ibu mengalami keterasingan sosial, meski secara kasat mata mereka dikelilingi oleh orang-orang. Kunjungan dari teman atau tetangga setelah kelahiran sering kali berfokus pada bayi bukan pada kondisi fisik dan psikis sang ibu. Sementara itu, komentar yang disampaikan dengan niat baik kerap kali justru bersifat menyalahkan atau merendahkan: menilai pilihan pengasuhan, mempertanyakan kecukupan ASI, atau membandingkan dengan pengalaman generasi sebelumnya yang “lebih tangguh”. Alih-alih merasa didukung, ibu merasa dihakimi. Di sinilah dukungan sosial yang seharusnya menjadi jaring pengaman justru berubah menjadi tekanan sosial yang tidak terlihat.

Penelitian tersebut juga mengangkat satu aspek penting yang kerap dilupakan: kondisi kesehatan bayi. Bagi banyak ibu, kesehatan bayi adalah cermin dari keberhasilannya sebagai orang tua. Ketika bayi mengalami gangguan kesehatan, mengalami keterlambatan tumbuh kembang, atau sering rewel tanpa sebab yang jelas, perasaan bersalah, cemas, dan frustasi mudah sekali menjalar. Ini bukan hanya tentang lelah secara fisik karena harus terjaga sepanjang malam, tetapi juga tentang hancurnya ekspektasi, runtuhnya rasa percaya diri, dan munculnya ketakutan tentang masa depan anak. Bahkan pada situasi di mana bayi dalam kondisi sehat, tekanan sosial untuk menjadi ibu yang sempurna tetap membuat banyak perempuan terjebak dalam kecemasan yang terus-menerus.

Hal yang menjadi sorotan dalam studi ini adalah bagaimana ketiga faktor tersebut fungsi keluarga, dukungan sosial, dan kesehatan bayi tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkelindan dan membentuk pusaran tekanan psikologis yang rumit. Seorang ibu yang tidak didukung keluarganya, tidak punya ruang aman untuk bercerita, dan merawat bayi dengan kondisi kesehatan yang tidak stabil, akan menghadapi risiko depresi pascanatal jauh lebih besar. Ini bukan sekadar soal “mental lemah”, sebagaimana sering distigma oleh masyarakat. Ini adalah realitas struktural yang menyakitkan: bahwa perempuan dibiarkan berjuang sendiri, dalam sistem yang tidak menyediakan perlindungan memadai.

Sayangnya, sistem dukungan dari negara pun tidak banyak membantu. Cuti melahirkan yang hanya tiga bulan tidak cukup memberi ruang pemulihan bagi ibu baru. Banyak perusahaan bahkan menekan pekerja perempuan agar segera kembali bekerja, dengan mengabaikan kebutuhan emosional dan fisiologis pascamelahirkan. Lebih parah lagi, belum ada layanan psikologis pascapersalinan yang terstandarisasi dan tersedia secara luas di fasilitas kesehatan dasar seperti puskesmas. Depresi pascanatal tetap menjadi topik yang tidak dibicarakan dalam forum publik, bahkan dalam program kesehatan ibu dan anak.

Penelitian ini, jika dibaca dengan jeli, sesungguhnya adalah kritik sosial yang mendalam terhadap kegagalan masyarakat dalam melihat ibu sebagai manusia utuh. Kita selama ini memuja-muja peran ibu sebagai simbol pengorbanan, kekuatan, dan kasih sayang tanpa batas, namun gagal menyediakan ruang bagi mereka untuk rapuh, lelah, dan meminta bantuan. Kita menciptakan mitos “ibu hebat” yang sebetulnya menjadi jebakan psikologis. Setiap ibu yang tidak mampu memenuhi ekspektasi itu akan merasa bersalah, gagal, bahkan mempertanyakan identitasnya sebagai perempuan.

Maka pertanyaannya, sampai kapan kita membiarkan ibu-ibu berjuang sendiri dalam sunyi? Sampai kapan kita terus membebani mereka dengan standar ideal yang tidak manusiawi, tanpa menyediakan dukungan nyata yang dibutuhkan? Penelitian ini memberikan sinyal bahwa yang dibutuhkan ibu bukan hanya pengakuan, tapi sistem yang berpihak. Sistem keluarga yang adil secara gender. Sistem sosial yang empatik, bukan menghakimi. Sistem kebijakan yang melindungi, bukan menuntut lebih banyak dari mereka yang sudah memberi terlalu banyak.

Depresi pascamelahirkan bukan hanya soal kesehatan mental, tetapi juga soal keadilan sosial. Ini bukan hanya soal individu yang lemah, tapi tentang struktur yang gagal menciptakan ruang aman bagi perempuan dalam menjalani peran ibu. Sudah saatnya kita tidak hanya mendengar suara bayi yang menangis, tetapi juga jeritan sunyi dari ibu-ibu yang dipaksa kuat di dunia yang tak memberinya kesempatan untuk lemah.

Jika kita ingin melahirkan generasi yang sehat dan kuat, maka kita harus mulai dari menjaga kesehatan mental ibu. Karena dari rahim yang terluka, tidak mungkin lahir anak-anak yang utuh. Dan dari ibu yang depresi, sulit berharap tumbuh cinta yang penuh. Maka sebelum kita terus menyuruh ibu “bersyukur” atas karunia anak, sebaiknya kita bertanya: sudahkah kita membuat mereka merasa didukung dan dimanusiakan?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak