Mahasiswa Rantau dan Pilihan untuk Tidak Tinggal di Asrama

Hernawan | As'ad Khalilurrahman
Mahasiswa Rantau dan Pilihan untuk Tidak Tinggal di Asrama
Ilustrasi mahasiswa (Freepik/freepik.com)

Mahasiswa sering dianggap memiliki status istimewa karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Di tengah banyaknya tantangan hidup, menjadi mahasiswa adalah suatu kebanggaan tersendiri, terutama bagi mereka yang datang dari daerah-daerah terpencil.

Namun, terdapat perbedaan signifikan antara mahasiswa zaman dulu dan sekarang. Mahasiswa dahulu dikenal lebih mandiri, aktif berorganisasi, dan berusaha mencari tempat tinggal yang murah, bahkan gratis, seperti asrama, untuk menghemat biaya hidup. Sementara itu, mahasiswa sekarang cenderung lebih memilih tinggal di kos, meskipun biayanya lebih mahal.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai fenomena ini, penting untuk menyoroti beberapa isu yang sering dibicarakan terkait kehidupan mahasiswa masa kini. Beberapa masalah yang sering muncul antara lain tingginya biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal), banyaknya mahasiswa yang terjebak dalam pinjaman online, hingga rendahnya minat untuk terlibat dalam kegiatan organisasi, terus kemudian perjokian, dilemanya program KKN dan seterusnya. Hal ini menjadi semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan tingginya biaya hidup di kota-kota besar, terutama bagi mahasiswa dari keluarga dengan ekonomi terbatas.

Contoh yang menarik adalah mahasiswa perantau asal Kalimantan Barat. Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah menyediakan asrama khusus di berbagai kota besar, seperti Surabaya, Malang, Semarang, Solo, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung, untuk mendukung kebutuhan mahasiswa asal daerah tersebut. Asrama ini tidak hanya memiliki fasilitas yang memadai tetapi juga gratis, termasuk biaya listrik dan air yang sudah ditanggung oleh pemerintah.

Sebagai aset daerah, asrama-asrama ini dirancang untuk membantu mahasiswa agar dapat berfokus pada pendidikan tanpa terbebani oleh biaya hidup yang tinggi. Namun, meskipun fasilitas tersebut sudah tersedia dengan baik, jumlah mahasiswa yang memilih tinggal di asrama sangat sedikit hanya sekitar 15 orang, padahal kapasitas asrama mampu menampung jauh lebih banyak penghuni.

Ada beberapa alasan mengapa mahasiswa enggan tinggal di asrama meskipun fasilitasnya sudah mencukupi. Salah satu faktor utamanya adalah stigma yang berkembang di kalangan mahasiswa bahwa tinggal di asrama berarti menghadapi aturan yang ketat, kebebasan yang terbatas, serta banyaknya kegiatan dan program yang harus diikuti. Bagi mahasiswa yang terbiasa dengan gaya hidup bebas dan tidak terikat oleh peraturan, tinggal di asrama sering dianggap merepotkan. Mereka lebih memilih untuk ngekos meskipun biayanya lebih tinggi, demi mempertahankan kebebasan mereka.

Padahal, jika ditinjau lebih mendalam, tinggal di asrama memiliki banyak manfaat yang sering diabaikan. Persyaratan untuk tinggal di asrama sangat sederhana, cukup dengan menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) atau Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tidak ada persyaratan tambahan yang memberatkan. Selain itu, dengan tinggal di asrama, mahasiswa bisa menghemat biaya hidup karena tidak perlu membayar sewa bulanan, listrik, dan air. Uang yang biasanya digunakan untuk membayar kos bisa dialokasikan untuk keperluan lain yang lebih mendukung proses belajar, seperti membeli buku atau mengikuti kursus tambahan.

Lebih dari itu, tinggal di asrama juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk membangun jaringan sosial yang lebih luas. Dengan tinggal bersama mahasiswa dari berbagai latar belakang, mereka dapat belajar memahami perbedaan, meningkatkan kepekaan sosial, serta mengasah kemampuan berkomunikasi dan bekerja sama dalam tim.

Ini adalah keterampilan yang sangat berharga di dunia kerja nanti. Lingkungan asrama yang lebih komunal juga dapat mendorong terciptanya solidaritas dan rasa persaudaraan di antara para penghuninya. Mahasiswa yang tinggal di asrama cenderung lebih peka terhadap kondisi sosial di sekitarnya, karena mereka hidup dalam lingkungan yang saling bergantung satu sama lain.

Di sisi lain, mahasiswa yang memilih ngekos harus menghadapi biaya bulanan yang tidak sedikit. Menurut beberapa sumber, biaya kos di kota-kota besar berkisar antara Rp900 ribu hingga jutaan rupiah per bulan, belum termasuk biaya listrik, makan, dan kebutuhan lainnya. Kehidupan ngekos juga cenderung membuat mahasiswa lebih individualistis dan kurang terlibat dalam kegiatan sosial maupun organisasi kampus. Mereka yang ngekos cenderung lebih fokus pada urusan pribadi, dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersantai, nongkrong di kafe, atau berselancar di media sosial.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa saat ini lebih mengutamakan kenyamanan pribadi dibandingkan pengembangan diri melalui kegiatan sosial. Misalnya, banyak mahasiswa yang lebih senang menonton konser atau hiburan lainnya daripada mengikuti organisasi yang sebenarnya dapat memberikan bekal berharga untuk masa depan mereka. Minimnya keterlibatan dalam organisasi ini berpengaruh pada lemahnya kemampuan menulis, penelitian, serta keterampilan bersosialisasi. Kondisi ini berbeda jauh dengan mahasiswa zaman dulu yang dikenal lebih giat dan aktif dalam berbagai kegiatan, baik akademis maupun non-akademis.

Secara keseluruhan, pilihan mahasiswa perantau yang lebih memilih ngekos daripada tinggal di asrama mencerminkan adanya pergeseran nilai di kalangan mahasiswa. Mereka cenderung menghindari aktivitas yang memerlukan keterlibatan sosial dan tanggung jawab kolektif.

Mahasiswa zaman sekarang lebih memilih jalur yang dianggap lebih steril, yaitu fokus kuliah tanpa harus ikut dalam kegiatan organisasi kampus, baik intra maupun ekstra. Sayangnya, hal ini justru membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja, seperti kemampuan bersosialisasi, kerja tim, dan kepemimpinan.

Sebagai penutup, penting bagi mahasiswa untuk mempertimbangkan kembali pilihan mereka. Tinggal di asrama mungkin tidak sefleksibel ngekos, tetapi manfaat yang bisa didapatkan jauh lebih banyak, terutama dalam hal penghematan biaya dan pengembangan diri. Mahasiswa seharusnya melihat asrama bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai wadah untuk belajar hidup dalam komunitas, saling mendukung, dan tumbuh bersama. Di masa depan, pengalaman hidup di asrama bisa menjadi salah satu kenangan yang tak ternilai, sekaligus bekal berharga dalam menghadapi kehidupan yang lebih kompleks di dunia kerja.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak