Egalitarianisme Muhammadiyah: Mengapa Tidak Ada Gelar Habib dan Pengkultusan?

Rendy Adrikni Sadikin | Abdul Abdullah
Egalitarianisme Muhammadiyah: Mengapa Tidak Ada Gelar Habib dan Pengkultusan?
Logo Muhammadiyah

Kalian pernah nggak nyimak atau dapat informasi seputar nasab Rasulullah SAW? Tentunya pernah dong... apalagi bagi kalian yang muslim, pasti udah tahu kan kalau ada sebagian orang yang mengatakan bahwa nasab Ba’alawiy itu terputus.

Nah setelah kita telusuri ternyata klaim mereka itu adalah bahwa ada jarak sekitar 500 tahun antara ‘Ubaidillah dengan ayahnya, maka inilah yang menjadi argumen bahwa nasab Ba’alawiy itu terputus tidak bersambung ke Nabi Muhammad SAW.

Dari polemik yang terjadi, kemudian muncul pertanyaan dari kalangan warganet: “Kenapa ya di Muhammadiyah nggak ada yang disebut Habib atau figur yang diagungkan?” Pertanyaan ini menjadi perhatian. Ya, jika dipikir-pikir benar juga ya: "Kok di Muhammadiyah nggak ada Habib atau figur yang diagungkan?"

Jadi teman-teman, perlu kalian ketahui bahwa di Muhammadiyah itu memiliki prinsip yang namanya prinsip Egalitarianisme-–semua orang dianggap sama, tanpa melihat latar belakang seseorang. Juga perlu kalian ketahui, bahwa di organisasi ini perempuan juga memiliki posisi dan hak yang sama dalam mengabdi di organisasi Muhammadiyah.

Muhammadiyah dan Nilai Kesetaraan

Dalam jurnal yang ditulis Ahmad Najib Burhani berjudul Muhammadiyah Jawa dan Landasan Kultural Untuk Islam Berkemajuan, ada penjelasan soal empat nilai unggulan Muhammadiyah. Dua di antaranya terkait erat dengan prinsip Egalitarianisme.

Pertama, Muhammadiyah nggak mengenal konsep darah biru, status sosial, atau latar belakang primordial seseorang. Semua orang dianggap sama, baik dari segi etnis, budaya, maupun status sosial.

Kedua, Muhammadiyah dari awal berdiri sampai sekarang nggak punya tradisi mengkultuskan figur tertentu. Seorang hamba dinilai berdasarkan takwa dan amal ibadahnya kepada Allah, bukan karena garis keturunan dan lainnya. Prinsip ini selaras dengan Q.S. Al-Hujurat 49:13, di mana kemuliaan seseorang di hadapan Allah hanya dinilai dari ketakwaannya.

Nah oke teman-teman, di sinilah perbedaan mendasar kenapa organisasi Muhammadiyah itu berbeda dengan organisasi lainnya. Di Muhammadiyah, nggak ada tuh istilah kasta-kastaan berdasar garis keturunan atau figur yang “istimewa” hanya karena beberapa alasan, bahkan jika ia keturunan KH, Ahmad Dahlan--pendiri Muhammadiyah--pun juga tidak memiliki kekhususan pada di organisasi.

Semua orang, dari pimpinan, simpatisan, jama’ah dianggap sama. Ini adalah bagian dari upaya Muhammadiyah mengamalkan nilai-nilai Egalitarianisme dalam Islam.

Mengapa Muhammadiyah Enggak Punya Habib atau Pengkultusan?

Oke teman-teman balik lagi pada topik apa yang ditanyakan para warganet: “Kenapa di Muhammadiyah nggak ada Habib atau orang yang diagungkan?”

Balik lagi ke pertanyaan netizen tadi: "Apakah Muhammadiyah punya Habib atau figur yang dikultuskan?". Agar jawabannya lebih objektif, saya bertanya langsung kepada seorang tokoh di Muhammadiyah yang cukup dikenal di daerahnya.

“Nama Muhammadiyah itu sendiri artinya pengikut Nabi Muhammad SAW, jadi, kalau ada yang diagungkan dan diteladani di Muhammadiyah, ya Nabi Muhammad SAW, bukan sosok figur atau keturunan khusus. Nah dalam konteks kekinian atau sering kita sebut sebagai Habib, di Muhammadiyah nggak menafikan keberadaan mereka, cuma Muhammadiyah tidak memberikan pandangan khusus atau peran khusus terhadap mereka, karena Muhammadiyah memandang bahwa semua orang itu sama. Juga anjuran untuk hal itu pun tidak ada di hadis Nabi Muhammad, bahkan Nabi bersabda; ‘Kalau Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya'."

"Dari hadis ini dapat kita pahami bahwa Rasulullah pun tidak menganjurkan pengkultusan pada keturunannya. Jadi dengan pandangan dari hadis ini juga surah Al-Hujurat/49: 13, Muhammadiyah mengambil kesimpulan bahwa semua orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan peran yang sama, tentunya ini dilakukan untuk mencegah munculnya fanatisme, konflik internal, dan penyimpangan dalam beragama,” Demikian wawancara pribadi pada 22 September 2024 pukul 19.15 – Masjid Muhammadiyah As-Salam, Kota Banjarbaru, Kalsel – Bapak H. Ramzi Fahmi (Humas Masjid Muhammadiyah As-Salam Banjarbaru sekaligus Ketua Majelis Tabligh Cabang Landasan Ulin Banjarbaru).

Perempuan dalam Muhammadiyah

Selain soal Egalitarianisme, kalian juga perlu mengetahui bahwa di Muhammadiyah, struktur organisasi tidak berfokus bahwa kepemimpinan mutlak seorang laki-laki. Tetapi Muhammadiyah memandang bahwa semua orang bisa menjadi pemimpin tanpa melihat ia laki-laki maupun perempuan, asalkan orang tersebut memiliki kapasitas, pengalaman, integritas dan keintelektuan yang mumpuni. Muhammadiyah juga dinilai sebagai organisasi Islam di Indonesia yang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Kepemimpinan di Muhammadiyah bersifat kolektif dan demokratis. Artinya, setiap keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama, tanpa dominasi satu gender. Contoh konkret ini bisa kalian lihat dari organisasi sayap Muhammadiyah, Aisyiyah, yang mana keseluruhan anggotanya adalah perempuan dan mereka berperan signifikan dalam dakwah dan kegiatan sosial.

Nah teman-teman sebagai seseorang yang pernah bersekolah di sekolah Muhammadiyah, saya juga memiliki beberapa pengalaman pribadi yang menunjukkan bagaimana Muhammadiyah memberi ruang bagi perempuan. Waktu saya bersekolah di MTS Muhammadiyah Al-Furqan Banjarmasin, yang kebetulan kepala sekolahnya adalah seorang perempuan dan kalian tau beliau menjabat selama 2 periode, sebuah kejutan bukan?

Begitu pula saat saya terlibat di IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), ketua organisasinya juga seorang perempuan. Jadi, jelas bahwa di  organiasi Muhammadiyah, melihat dari realitas dan pengalaman pribadi nggak ada yang namanya diskriminasi gender. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk mengambil peran dan menjalankan kepemimpinan.

Muhammadiyah: Kesetaraan sebagai Nilai Utama

Prinsip Egalitarianisme di Muhammadiyah bukan sekadar teori yang ditulis di atas kertas dan diajarkan saja, akan tetapi sebuah prinsip harus diterapkan oleh setiap anggota Muhammadiyah. Tidak adanya pengkultusan atau pengagungan terhadap orang-orang tertentu, adalah bukti bahwa prinsip dilaksanakan dengan baik. Setiap orang memiliki kesempatan dan peran yang sama, baik dalam kepemimpinan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai organisasi besar, Muhammadiyah mempunyai nilai-nilai yang harus dipegang teguh. Salah satunya, yaitu  menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan kesempatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi Muhammadiyah serius dalam menjalankan ajaran Islam yang murni, di mana ketakwaan dan amal ibadah seseoranglah yang menjadi tolok ukur kemuliaan seseorang, bukan dari keturunan atau status social yang ia miliki.

Jadi teman-teman, kalau kalian masih bertanya-tanya kenapa di Muhammadiyah nggak ada Habib atau figur yang dikultuskan, jawabannya jelas: Muhammadiyah itu lebih fokus pada nilai-nilai ketakwaan dan kesetaraan, bukan pada latar belakang seseorang.

Semua orang dianggap sama di hadapan Allah Ta’ala. Maka inilah point penting yang membedakan organisasi Muhammadiyah memiliki nilai yang berbeda dengan organisasi Islam lainnya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak