Sejak pergantian Mentri Pendidikan, banyak dari masyarakat Indonesia yang menyinggung soal Kurikulum Merdeka yang telah lama digunakan. Beberapa kalangan, termasuk guru dan orang tua, mengkritik aspek-aspek tertentu dalam kurikulum ini, terutama karena fleksibilitas yang diberikan dianggap justru membuat siswa kurang termotivasi untuk belajar.
Salah satu kritik utama yang dilakukan oleh berbagai kalangan, tidak terkecuali orang tua dan guru adalah bahwa banyaknya siswa yang otomatis naik kelas tanpa melihat prestasi akademik, yang dinilai menurunkan keseriusan dalam belajar.
Melihat ke negara-negara yang telah sukses mengembangkan sistem pendidikan dengan hasil optimal, beberapa model kurikulum di luar negeri dapat memberikan inspirasi untuk meningkatkan efektivitas sistem pendidikan Indonesia. Tiga kurikulum yang relevan dan dapat dijadikan referensi adalah National Core Curriculum dari Finlandia, Curriculum 2015 dari Singapura, dan Course of Study dari Jepang.
Kurikulum Merdeka: Sebuah Langkah dengan Tantangan
Implementasi Kurikulum Merdeka bertujuan untuk menciptakan pembelajaran yang lebih inklusif dan mengutamakan minat siswa. Namun, dampaknya tidak selalu sesuai dengan harapan. Melansir dari Jurnal berjudul “Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka di Sekolah Dasar: Systematic Literature Review” menunjukkan bahwa kurangnya pelatihan bagi guru berdampak signifikan pada kesulitan penerapan metode belajar yang efektif di kelas. Guru di daerah terpencil menghadapi hambatan lebih besar karena minimnya akses terhadap sumber daya pendidikan dan pelatihan. Akibatnya, pelaksanaan kurikulum ini berpotensi melenceng dari tujuan awalnya.
Selain itu, penelitian dari Jurnal yang telah disebutkan juga menyoroti bagaimana fleksibilitas dalam penilaian Kurikulum Merdeka, khususnya dalam aturan naik kelas, berdampak pada menurunnya motivasi belajar siswa. Karena siswa merasa tetap bisa naik kelas meskipun tidak berusaha maksimal, banyak yang kemudian meremehkan pentingnya kehadiran dan keterlibatan aktif dalam kelas. Hal ini menciptakan "mindset aman," di mana siswa beranggapan tidak perlu bersungguh-sungguh belajar, mengingat kenaikan kelas sudah terjamin.
Inspirasi dari Finlandia: National Core Curriculum
Finlandia terkenal dengan National Core Curriculum yang menekankan pembelajaran berbasis fenomena, di mana siswa mempelajari konsep lintas disiplin. Pendekatan ini memungkinkan siswa memahami materi secara mendalam melalui pengalaman nyata, seperti melalui proyek dan pembelajaran kolaboratif.
Filosofi ini, yang menggabungkan keterampilan hidup dengan akademis, terbukti efektif dalam meningkatkan motivasi siswa, karena mereka tidak hanya belajar untuk nilai tetapi juga untuk pengembangan diri mereka secara holistik.
Penelitian Lavonen (2020) pada Jurnal berjudul “Curriclum and Teacher Education Reforms in Finlandia That Support the Development of Competences for the Twenty-First Century” menyebutkan bahwa keterlibatan aktif guru dalam pembaruan kurikulum ini berperan penting, karena guru dilibatkan dalam merancang metode pengajaran sesuai konteks budaya dan lokal.
Indonesia dapat mengadopsi pendekatan Finlandia ini dalam bentuk pembelajaran lintas disiplin dan berbasis proyek. Namun, perbedaan konteks budaya dan sumber daya perlu diperhatikan agar adaptasi ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia.
Singapura dan Curriculum 2015 (C2015): Memupuk Kompetensi Abad 21
Singapura dikenal dengan pendekatan Curriculum 2015 (C2015) atau dikenal juga sebagai 21st Century Competencis Framework. Melansir dari Ministry of Education Singapore, menyebutkan bahwa kurikulum ini menitikberatkan pada keterampilan abad ke-21 seperti literasi digital, pemikiran kritis, dan keterampilan pemecahan masalah. Model kurikulum ini mendorong siswa untuk belajar mandiri dan berpikir secara analitis. Singapura berhasil menerapkan kurikulum ini melalui pelatihan yang intensif bagi guru dan dukungan teknologi yang memadai, sehingga siswa dapat belajar dengan cara yang interaktif dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Untuk Indonesia, integrasi keterampilan abad ke-21 dalam kurikulum dapat menjadi salah satu solusi untuk membekali siswa dengan kemampuan yang relevan dengan dunia kerja global. Meski demikian, peningkatan fasilitas dan infrastruktur pendidikan, terutama di daerah terpencil, harus menjadi prioritas agar penerapan teknologi tidak menjadi beban tambahan bagi guru dan sekolah.
Jepang - Course of Study (Gakush Shid Yry): Pendidikan Berbasis Karakter
Di Jepang, Course of Study atau Gakush Shid Yry. Penelitian Akito (2019) pada Jurnal berjudul “Education Policy and The Japanese New Konwledge Society” menyebutkan bahwa kurikulum nasional ini berfokus pada pendidikan karakter selain akademis. Jepang tidak hanya menekankan pencapaian akademik, tetapi juga nilai-nilai seperti disiplin, tanggung jawab, dan kerja sama. Filosofi ini menciptakan generasi siswa yang memiliki sikap positif terhadap belajar dan bekerja keras, di mana nilai-nilai ini dianggap sama pentingnya dengan prestasi akademik.
Indonesia dapat mengambil inspirasi dari Jepang dalam hal pendidikan karakter. Meski Kurikulum Merdeka memiliki komponen pembelajaran berbasis karakter, implementasinya di lapangan masih kurang efektif. Penerapan pendidikan karakter dapat diperkuat melalui kolaborasi antara guru, orang tua, dan masyarakat, sehingga pembentukan karakter tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi juga di lingkungan sekitar siswa.
Kritik Terhadap Kurikulum Merdeka
Salah satu kritik yang sering diajukan terhadap Kurikulum Merdeka adalah kurangnya keselarasan antara tujuan ideal dengan praktik di lapangan. Kurikulum ini dirancang untuk mengutamakan minat dan kemampuan siswa, namun belum sepenuhnya didukung dengan persiapan dan pelatihan yang memadai bagi guru. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa tanpa pelatihan yang intensif, banyak guru yang kesulitan memahami metode yang sesuai dengan Kurikulum Merdeka, yang pada akhirnya membuat mereka tetap menerapkan metode pengajaran lama.
Selain itu, fleksibilitas dalam kebijakan kenaikan kelas yang diterapkan terkesan membuat para siswa meremehkan sebuah ilmu pengetahuan, meskipun tujuan awalanya bertujuan untuk mengurangi tekanan akademis, tetapi justru malah menurunkan motivasi siswa untuk belajar dan timbulnya rasa meremehkan, menyepelekan bahkan sampai tidak mau mendengarkan nasihat dari guru. Jika aspek-aspek ini tidak diperbaiki, tujuan Kurikulum Merdeka untuk menciptakan pembelajaran yang lebih relevan dan menyenangkan malah hanya akan memperburuk keadaan pendidikan di Indonesia.
Kurikulum Merdeka Indonesia memiliki potensi besar untuk menciptakan pembelajaran yang inklusif dan adaptif. Namun, pelaksanaan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak ruang untuk perbaikan. Mengambil inspirasi dari kurikulum Finlandia, Singapura, dan Jepang dapat menjadi langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, terutama dengan memperkuat peran guru, memadukan keterampilan abad ke-21, dan menekankan pendidikan karakter.
Meskipun adaptasi langsung mungkin tidak sepenuhnya sesuai dengan kondisi Indonesia, esensi dari kurikulum-kurikulum ini dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai lokal untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih kuat dan responsif terhadap kebutuhan masa depan.