Surat Terakhir: Aksi Kamisan Jelang Pelantikan Prabowo dan Akhir Jokowi

Hernawan | intan mega
Surat Terakhir: Aksi Kamisan Jelang Pelantikan Prabowo dan Akhir Jokowi
Sejumlah aktivis dan mahasiswa saat melakukan Aksi Kamisan ke-815 di sebrang Istana Negara, Jakarta, Kamis (16/5/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Di Indonesia, ada tradisi kuat: Aksi Kamisan. Selama 18 tahun, penyintas dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia berkumpul setiap Kamis di depan Istana Merdeka. Dengan payung hitam dan potret wajah-wajah yang hilang, mereka menuntut keadilan. Di masa Jokowi, 479 surat telah dikirim, menambah 339 surat dari era SBY. Namun, surat-surat ini tenggelam dalam keheningan birokrasi, tak pernah sampai ke meja pengambil keputusan.

Saat Jokowi menjabat, ia berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Nawacita yang dulu terdengar tegas, kini nyaris tak terdengar. Setelah sepuluh tahun berkuasa, Jokowi lebih dikenal karena membangun jalan tol dan bandara, sementara jalan menuju keadilan tetap terhalang. Berkas-berkas pelanggaran HAM berat masih tertahan di Kejaksaan Agung. Mungkinkah beton mengering lebih cepat daripada janji keadilan?

Surat-Surat yang Terabaikan

Surat-surat dari Aksi Kamisan menjadi cerminan nyata dari warisan Jokowi soal hak asasi manusia. Setiap Kamis, aksi ini seolah menjadi ritual di bawah terik matahari Jakarta, sementara rasa sakit yang tak terjawab tersimpan rapat di arsip pemerintah.

Ironisnya, beberapa hari sebelum pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden, Aksi Kamisan ke-836 digelar—menjadi aksi terakhir. Satir yang pahit terasa, terutama karena di Istana Merdeka, tempat para demonstran mengirimkan surat, akan segera duduk seorang pemimpin yang namanya sering disebut dalam laporan-laporan pelanggaran HAM di masa lalu. Ini menegaskan masalah mendasar di negeri ini: sebuah sistem yang tak pernah berubah, di mana keadilan selalu berada di urutan terakhir.

Simfoni yang Tak Selesai

Masa jabatan Jokowi bisa diibaratkan sebagai simfoni yang tak pernah selesai. Dimulai dengan janji besar untuk menuntaskan masa lalu kelam Indonesia, namun nadanya perlahan memudar. Hingga kini, Komnas HAM mencatat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum terselesaikan, mulai dari Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003 dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998.

Pada 2022, Jokowi membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat (PPHAM). Meski langkah ini patut diapresiasi, solusi non-yudisial hanya pengakuan simbolis yang tak bisa menggantikan keadilan nyata. Para korban menginginkan lebih dari sekadar pengakuan publik; mereka menginginkan pengadilan yang adil dan transparan. Membangun jalan tol dan infrastruktur mungkin bisa diukur dengan angka, tetapi keadilan? Itu adalah pekerjaan hati, bukan statistik.

Urgensi Tindakan: Bukan Warisan Turun Temurun tapi Selesaikan!

Seruan Aksi Kamisan: Surat Terakhir Aksi Kamisan untuk Presiden RI (Instagram/@aksikamisan)
Seruan Aksi Kamisan: Surat Terakhir Aksi Kamisan untuk Presiden RI (Instagram/@aksikamisan)

Fakta bahwa kasus-kasus ini tetap terbuka selama hampir dua dekade adalah bukti kuat kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya kepada rakyat. Meski kompleksitas kasus-kasus ini tak bisa diremehkan, impunitas yang dinikmati oleh para pelaku pelanggaran HAM adalah ketidakadilan yang mencolok. Laporan Amnesty International dan Human Rights Watch menegaskan bahwa impunitas masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Aksi Kamisan bukan hanya tuntutan untuk keadilan bagi korban tertentu; aksi ini adalah gejala dari masalah yang lebih dalam di Indonesia. Ketidakmampuan negara menangani pelanggaran HAM masa lalu melemahkan legitimasi pemerintah dan melanggengkan budaya impunitas. Hal ini berdampak luas pada perkembangan demokrasi Indonesia dan posisinya di dunia internasional.

Pembangunan ekonomi penting, namun tak boleh mengorbankan hak asasi manusia. Keduanya tak perlu dipertentangkan. Dengan menangani pelanggaran HAM masa lalu, Indonesia dapat memperkuat institusi demokrasinya dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Apakah Masih Ada Harapan?

Prabowo segera dilantik. Sebuah transisi yang menarik, namun tak mengejutkan. Publik mungkin sudah terbiasa dengan kisah masa lalu yang terus berulang. Meski ada skeptisisme, harapan tetap ada, meski hanya tersisa secercah. Prabowo, dengan segala sejarah dan kontroversinya, mungkin bisa menulis bab baru dalam demokrasi Indonesia. Mungkin.

Prabowo punya kesempatan untuk membuktikan bahwa kepemimpinannya bukan hanya diingat karena proyek infrastruktur, tetapi juga keberaniannya membuka kembali lembaran hitam sejarah dan memberikan keadilan yang telah lama dinantikan. Karena pada akhirnya, Indonesia tak hanya butuh jalan tol baru, tetapi jalan menuju keadilan yang terbuka lebar.

Surat-surat dari Aksi Kamisan mungkin tak pernah dibalas, tapi pesan di baliknya jelas: keadilan tak boleh lagi tertunda. Harapan akan terus hidup, meski hanya secercah, di bawah bayangan payung hitam itu.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak