Kepada Yth. Presiden Republik Indonesia dan Calon Presiden Republik Indonesia,
Dalam dekade terakhir, pendidikan di Indonesia telah menjadi sorotan utama. Namun, kita perlu bertanya: Apakah langkah-langkah yang diambil pemerintah selama ini cukup untuk menjawab tantangan yang ada? Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo, beberapa kemajuan signifikan telah terlihat, termasuk program digitalisasi pendidikan melalui platform Merdeka Belajar. Namun, apakah ini cukup untuk mengatasi akar permasalahan yang selama ini merongrong dunia pendidikan kita?
Meskipun pemerintah terus mengalokasikan anggaran besar, masalah fundamental yang menghantam guru, siswa, dan kualitas pembelajaran tak kunjung selesai. Pada tahun 2024, Indonesia masih terjebak di peringkat 66 dari 81 negara dalam survei Programme for International Student Assessment (PISA). Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun berbagai program diluncurkan, kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan. Ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan masih menganga lebar, menciptakan jurang yang dalam antara mereka yang beruntung dan yang terpinggirkan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan tahunan, Statistik Pendidikan 2023, akses pendidikan di daerah terpencil tetap menjadi masalah besar. Banyak sekolah di wilayah pedalaman tidak memiliki akses internet yang memadai—sebuah ironi di tengah era digitalisasi. Di mana ambisi besar pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang merata dan berkualitas bagi semua anak?
Kurikulum Merdeka: Solusi atau Sekadar Label Baru?
Program Merdeka Belajar digadang-gadang sebagai solusi untuk berbagai masalah struktural di pendidikan Indonesia. Namun, dalam praktiknya, program ini seringkali terasa dangkal dan tidak mengakar pada masalah riil di lapangan. Di daerah terpencil, guru-guru mengeluhkan minimnya dukungan pelatihan untuk mengimplementasikan kurikulum baru ini. Penelitian oleh Penelitian oleh Aliyyah dkk (2023) yang berjudul “Perceptions of Elementary School Teachers Towards the Implementation of the Independent Curriculum During the COVID-19 Pandemic” menunjukkan para cendekiawan menunjukkan bahwa penerapan kurikulum mandiri menjadi tantangan berat, terutama di daerah yang kurang terlayani.
Beban administratif yang terus meningkat juga menjadi kendala serius. Alih-alih fokus pada pengembangan metode pembelajaran kreatif, guru-guru kita justru terjebak dalam urusan birokrasi yang tidak ada habisnya. Di sini, kita melihat kegagalan struktural yang membutuhkan pembenahan menyeluruh, bukan sekadar gimik kebijakan yang terlihat bagus di atas kertas.
Kesenjangan yang Tak Terjembatani
Kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan adalah kesenjangan besar dalam hal akses pendidikan di Indonesia. Meski program bantuan seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) telah diluncurkan, pelaksanaannya seringkali tidak merata. Laporan BPS 2023 mengungkapkan perbedaan mencolok dalam capaian pendidikan antara kelompok ekonomi rendah dan tinggi. Hanya 17,54 persen anak-anak dari kelompok pengeluaran terendah yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, sementara kelompok pengeluaran tertinggi mencatat lebih dari 50 persen. Lalu, ke mana 46,8 miliar anggaran KIP mengalir selama 5 tahun ini?
UNICEF dalam artikelnya yang berjudul “Education and Adolescents" memperkirakan bahwa sekitar 4,1 juta anak usia 7-18 tahun di Indonesia tidak bersekolah. Anak-anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, dan yang tinggal di daerah terpencil adalah kelompok paling rentan. Mereka tidak hanya kehilangan kesempatan belajar, tetapi juga harapan akan masa depan yang lebih baik.
Harapan untuk Pemimpin Baru: Menata Ulang Sistem Pendidikan
Presiden baru perlu melihat kenyataan ini dengan mata terbuka. Pendidikan Indonesia membutuhkan pemetaan ulang yang menyeluruh. Kebijakan harus lebih fokus pada daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan dari arus pembangunan. Program pelatihan guru harus lebih intensif dan inklusif, mencakup wilayah terpencil dan daerah tertinggal, sehingga guru-guru kita tidak hanya menjadi pelaksana kurikulum, tetapi juga agen perubahan.
Kebijakan pendidikan tidak bisa hanya bertumpu pada digitalisasi tanpa memperbaiki infrastruktur dasar terlebih dahulu. Internet cepat tidak ada artinya bagi siswa yang bahkan tidak memiliki akses ke perangkat komputer atau smartphone. Solusi nyata yang lebih membumi harus disediakan, misalnya melalui pembangunan sekolah yang layak dan penyediaan sarana belajar yang memadai.
Reformasi kurikulum juga harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan anak didik. Kita membutuhkan kurikulum yang adaptif namun realistis dengan kondisi di lapangan. Program-program seperti teaching factory yang mempersiapkan siswa untuk dunia kerja dan teknologi harus diperkuat, bukan hanya sebatas wacana.
Pendidikan sebagai Pilar Bangsa
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan menentukan masa depan bangsa. Harapan kami kepada pemimpin baru, Prabowo Subianto, adalah mampu melihat pendidikan tidak hanya sebagai program politik lima tahunan, tetapi sebagai proyek kebangsaan yang berkelanjutan.
Dengan langkah yang tepat, kita bisa membangun generasi yang unggul, siap menghadapi tantangan global, dan mampu membawa Indonesia menjadi negara yang lebih maju. Kita tidak bisa lagi mengabaikan pendidikan sebagai pilar kemajuan; sudah saatnya kita memberi perhatian yang sepantasnya kepada sektor ini. Mari kita bekerja sama untuk memastikan bahwa setiap anak Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, demi masa depan yang lebih cerah.
Salam perjuangan,
Rakyat yang Mengawasi