Pernikahan Bukan Solusi bagi Korban Pelecehan Seksual, Hanya Nambah Masalah

Hayuning Ratri Hapsari | Ernik Budi Rahayu
Pernikahan Bukan Solusi bagi Korban Pelecehan Seksual, Hanya Nambah Masalah
Ilustrasi Pernikahan Korban dengan Pelaku Kekerasan Seksual (pexels.com/Trung Nguyen)

Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus dari kakak-adik asal Purworejo, Jawa Tengah, berinisial DSA (15) dan KSH (17) yang diduga menjadi korban pemerkosaan oleh 13 pria. Mereka mengadu ke Hotman Paris 911.

Kedua remaja tersebut melaporkan bahwa mereka telah mengalami pelecehan seksual, bahkan sang adik yang masih berusia 15 tahun telah telah melahirkan anak dari salah satu pelaku. Korban yang berinisial DSA tersebut dinikahkan dan ia juga mengaku terpaksa menyetujui pernikahan siri tersebut.

Pernikahan korban dan pelaku kekerasan seksual bukan solusi

Seperti yang kita ketahui, kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual sering kali diakhiri dengan solusi pernikahan antara pelaku dan korban. Solusi ini biasanya diambil dengan dalil dan kepercayaan dari masyarakat bahwa menikah dapat "memulihkan" martabat korban di mata masyarakat.

Namun, nyatanya pernikahan antara korban dan pelaku ini adalah sebuah bentuk dari pengabaian keadilan bagi korban. Bukan hanya pengabaikan keadilan bagi korban tetapi juga berpotensi memperparah trauma yang mereka alami.

Solusi menikahkan korban dengan pelaku ini juga didasari oleh norma sosial dan budaya yang masih sangat kental di masyarakat kita. Anggapan bahwa korban pelecehan adalah "aib" yang perlu "dibersihkan" dan pernikahan akhirnya dianggap sebagai solusi yang tepat.

Pernikahan dianggap juga sebagai cara menutupi aib tersebut. Keluarga korban juga sering ditekan untuk menerima solusi pernikahan karena demi menjaga nama baik  keluarga tetap terjaga.

Namun, nyatanya solusi ini hanya menutupi masalah tanpa menyelesaikannya, bagi korban solusi ini hanyalah masalah baru yang membuatnya semakin terikat dengan pelaku kejahatan..

Di sisi lain, sistem hukum yang seharusnya memberikan perlindungan juga sering menunjukkan kelemahan. Sistem hukum memang telah mengupayakan perlindungan bagi korban kekerasan seksual ini.

Namun, dalam beberapa kasus dijumpai norma masyarakat yang kerap kali malah menyetujui dan bahkan mendorong pernikahan sebagai penyelesaian. Hal ini mengakibatkan sistem hukum tidak berjalan baik.

Jika pernikahan itu terjadi, maka pelaku kerap kali dianggap sudah bertanggung jawab dari kejahatannya, walaupun hukum tidak pernah menyatakan bahwa adanya pernikahan dapat menghanguskan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.

Hukum di Indonesia berfokus pada perlindungan korban

Hukum di Indonesia, memang tidak pernah melarang pernikahan antara pelaku degan korban kekerasan seksual. Namun, sistem hukum di negara ini telah berupaya untuk melindungi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Poin-poin hukum yang berhubungan adalah sebagai berikut:

1. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):

UU ini mengatur berbagai tindak pidana kekerasan seksual dan menekankan pentingnya perlindungan dan pemulihan bagi korban.

Dalam UU TPKS, pelecehan seksual adalah tindak pidana, dan tidak ada ketentuan yang membenarkan pernikahan antara korban dan pelaku sebagai cara penyelesaian hukum.

Bahkan, dalam Pasal 23 UU TPKS menyebutkan bahwa korban kekerasan seksual harus mendapatkan hak-hak pemulihan, perlindungan, dan rehabilitasi. Hal ini berarti, pernikahan bukanlah solusi yang tepat karena pada dasarnya korban harus fokus dengan mendapatkan hak-hak pemulihan, perlindungan, dan rehabilitasi.

2. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):

Pada beberapa ketentuan dalam KUHP yang mengatur kekerasan atau tindakan asusila, tidak ada ketentuan bahwa pernikahan dapat menjadi bentuk penyelesaian bagi tindak pidana tersebut. Artinya, walaupun telah dinikahkan pun hukum pidana tetap berlaku untuk pelaku, terlepas statusnya yang telah menikah dengan korban.

Namun, pada praktiknya masih banyak dijumpai bahwa ketika pelaku sudah menikah dengan korban, maka mereka akan lepas terhadap jerat hukum tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut, yang perlu digarisbawahi adalah pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menghapuskan stigma bahwa korban pelecehan dan kekerasan seksual adalah “aib”, yang kemudian dengan menikahkan korban dengan pelaku akan menyelesaikan masalah tersebut.

Praktik pernikahan sebagai penyelesaian untuk kasus pelecehan seksual adalah sebuah bertentangan dengan semangat hukum yang melindungi korban.

Maka dari itu, menikahkan korban dengan pelaku bukanlah sebuah solusi yang tepat karena hanya akan berdampak pada korban yang tetap merasakan ketidakadilan, trauma, dan bahkan terkadang mengalami kekerasan lebih lanjut dalam pernikahan tersebut.

Bukan hanya secara emosional, korban juga akan menghadapi tekanan psikologis berat ketika dipaksa menjalani hidup bersama dengan seseorang yang telah merusak kehormatannya.

Sementara itu, sistem hukum baik UU TPKS, KUHP sudah baik karena telah berupaya dan berfokus pada perlindungan korban. Namun, di balik itu masih ada kosongnya terkait pengaturan spesifik dalam hukum yang melarang pernikahan antara korban dan pelaku.

Kekosongan itu adalah sebuah tanda bahwa perlu adanya perbaikan untuk memperjelas aturan tersebut. Langkah penting yang lainnya adalah pemerintah harus menciptakan dan menyosialisasikan sistem jalur pengaduan yang terjangkau bagi perempuan korban kekerasan.

Pengaduan yang cepat dan terjangkau akan menghindari upaya-upaya menekan korban dan keluarga untuk menikahkan dengan pelaku.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak