Nyaris Tiada Harapan: Potensi Hilangnya Kehangatan dalam Interaksi Sosial Gen Z

Hernawan | Aninditha Nur Shafira
Nyaris Tiada Harapan: Potensi Hilangnya Kehangatan dalam Interaksi Sosial Gen Z
Ilustrasi Gen Z (Freepik.com/pressfoto)

Terlahir sebagai seorang Gen Z, yang seringkali dilabeli sebagai generasi serba instan, tak luput membuat saya hampir setiap hari berpikir tentang bagaimana menemukan jati diri di tengah hiruk pikuk kehidupan yang dipenuhi oleh distraksi. Ada banyak hal yang saya alami, termasuk perasaan seperti kecemasan dan kegalauan yang saya rasakan akhir-akhir ini. Persoalannya, adalah saya yang jarang mengungkapkan ekspresi ini, akhirnya tergerak untuk menulis—bukan hanya sebagai perkara tumpahan emosi semata, melainkan cara untuk merefleksikan diri. 

Saya hanya ingin membagikan sedikitnya keluhan tentang betapa menyedihkannya suatu era dunia nyata yang terkesan tidak lagi interaktif. Mengingat dunia semakin dipenuhi distraksi, ponsel pintar menjadi salah satu yang senantiasa menemani setiap saat. Bahkan, sadar atau tidak, hal pertama yang dicari sejak detik seseorang bangun tidur adalah ponsel pintarnya.

Kenyataan bahwa dunia semakin termediasi oleh ponsel pintar diamini membawa pengaruh besar terhadap bagaimana interaksi antara manusia dengan dunianya yang terasa semakin kabur. Manusia saat ini, memang lebih akrab dengan dunia maya ketimbang dunia nyata, yang bahkan tidak memandang unsur usia. Tidak mengherankan jika anak di bawah umur dianggap sudah lazim memiliki ponsel pintar sendiri.

Lalu, apakah memang interaksi di dunia nyata saat ini sudah se-pasif itu? Bahkan untuk sekadar ngobrol saja rasanya perlu effort lebih untuk mengalihkan benda berteknologi mutakhir tersebut.

Menjadi hal umum bagi para orang tua mengeluhkan anak-anak mereka yang sepanjang hari mendekam di kamar bersama ponsel pintarnya, terutama saat hari libur. Hal ini tak jarang membuat mereka melewatkan waktu makan, minum, bahkan mandi. Mungkin saja jika tidak ada yang mengingatkan, mereka akan betul-betul melewatkan semua itu.

Sehingga, menjadi sebuah kewajaran ketika ponsel pintar memiliki daya tarik yang sangat besar, yang seolah punya kemampuan menghipnotis untuk terus dibawa dan dimainkan dalam keseharian. Nggak heran kalimat “Hape terus!” menjadi ungkapan kekesalan yang sering terdengar sekaligus sebagai kalimat pamungkas para ibu abad 21.

Keluhan para orang tua tersebut memanglah sangat beralasan. Bagaimana tidak? Kehadiran ponsel secara tidak langsung membuat pola interaksi sosial di dunia nyata makin merosot jauh. Jangankan berinteraksi dengan masyarakat, berbincang ringan dengan orang tua di malam hari pun agaknya begitu sulit. Dulu, tradisi diskusi bersama di meja makan yang seharusnya menjadi momentum yang paling dinantikan, kini sudah tergolong jarang.

Ruang keluarga seharusnya menjadi tempat yang hangat di mana semua anggota keluarga bisa berkumpul sambil berbagi cerita, bukan sekadar tempat yang cuma mempertemukan raga tapi pikiran sibuk dengan ponselnya masing-masing. Lain halnya dengan main hape yang terasa begitu mudah, mengasyikkan, dan tahu-tahu waktu sudah larut begitu cepat. Interaksi sosial yang dulu terasa lebih hidup, sekarang mulai redup dengan kehadiran ponsel pintar.

Kecemasan Sosial Muncul Saat Berada di Lingkungan Baru

Ilustrasi cemas (pixabay/@Anemone123)
Ilustrasi cemas (pixabay/@Anemone123)

Kalau dipikir-pikir secara rasional, banyak orang akan menilai bahwa kehidupan sosial akan berjalan jauh lebih interaktif tanpa kehadiran ponsel pintar di tengah-tengah kita. Kendati begitu, perlu disadari bahwa persoalan sosial seringnya tidak sesederhana kelihatannya karena tak lepas melibatkan banyak faktor. Seperti misalnya, banyak dari mereka, terutama yang satu generasi dengan saya, mengungkapkan kecemasannya saat harus berkontak sosial di lingkungan baru. Mereka acap kali menjadi sosok yang sangat pendiam, tidak banyak bicara, bahkan selalu meng-iyakan ketika awal-awal masuk ke dalam lingkungan baru.

Kalau diingat-ingat, saya sendiri kerap mengalami hal serupa. Ketika memasuki kelas baru di semester awal perkuliahan, tidak jarang rasa gugup mulai menguasai diri saat harus memulai obrolan dengan orang baru. Ketika saya bertanya kepada beberapa teman tentang hal ini, mereka juga mengungkapkan rasa ragunya untuk memulai percakapan, terutama karena takut dianggap “sokab” alias sok akrab jika memulai obrolan lebih dulu.

Beberapa teman saya yang lain juga bercerita bahwa mereka berasal dari latar belakang keluarga yang kurang harmonis sehingga berdampak pada gaya komunikasinya dan membuatnya kesulitan untuk membangun hubungan dengan orang baru. Mereka juga tidak terlalu tahu bagaimana cara membuka obrolan untuk pertama kalinya dengan orang yang tidak dikenal. Mereka kerap tidak memiliki topik pembicaraan yang pas yang bisa mencairkan suasana agar terkesan tidak canggung. 

Alhasil, kebiasaan mengecek atau memainkan ponsel seringnya menjadi bentuk pelarian sebatas alasan untuk menghindari interaksi tersebut. Hal ini bisa dipahami, mengingat tiap generasi itu memiliki problem yang berbeda, mulai dari sikap dan cara berinteraksi yang memang tergantung dengan zamannya.

Fenomena Grasa-Grusu, Ketergesaan yang Menjadi Kebiasaan

Pengendara terjebak kemacetan di Jakarta, Jumat (8/11/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Pengendara terjebak kemacetan di Jakarta, Jumat (8/11/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]

Namun, persoalan kehidupan dunia nyata yang semakin tidak interaktif juga tidak melulu akibat distraksi teknologi. Seiring berjalannya waktu, ada hal-hal atau kebiasaan yang makin terkikis. Dari situ, saya tiba pada beberapa kesimpulan yang tidak banyak disadari bahwa sebagian besar orang pernah mengalami atau setidaknya menyaksikan fenomena pergi ke kantor, sekolah, ataupun kampus dengan grasa-grusu alias terburu-buru.

Ketika mendapati diri sedang terburu-buru—hal ini seringkali yang membuat tidak sempat untuk sarapan atau sekadar menyapa orang di rumah. Wajah panikan yang terpampang saat hendak berangkat kerja atau sekolah seolah sudah jadi pemandangan biasa. Kesibukan yang padat di tengah rutinitas menjadi alasan mengapa sulit rasanya untuk sekadar menyempatkan diri setidaknya lima menit saja untuk ngobrol bareng orang di rumah sambil menikmati secangkir teh hangat.

Kendati begitu, nampaknya sudah jarang sekali bagi sebagian besar Gen Z memulai pagi dengan obrolan bersama anggota keluarga, membantu menyiapkan sarapan, atau bahkan membuatkan kopi untuk ayah sambil ngobrol santai di teras atau ruang tamu. Entah mengapa, momen-momen hangat seperti itu nyaris sirna, atau sudah hampir tidak pernah sama sekali?

Tidak sampai di situ, bahkan ketika sampai di tempat tujuan, sempatkah menyapa teman yang kita jumpai di lorong sekolah, atau barangkali mereka yang satu meja? Sepertinya, ketika hendak memasuki ruang kelas, hal pertama yang dilakukan secara refleks tanpa disadari adalah merogoh ponsel dari saku dan kemudian memainkannya, seolah seperti perokok yang akan menyalakan rokok.

Sehingga, tak mengherankan jika banyak yang beranggapan orang-orang di zaman sekarang, terutama Gen Z merupakan generasi yang cenderung lebih individualistis alias tak suka dengan kehidupan bersosial. Meskipun, memang penilaian itu tidak sepenuhnya benar karena memang masih sering ditemui berbagai kegiatan sosial dan organisasi sejenis lainnya yang diikuti Gen Z.

Keasyikkan yang Tak Ikut Terbawa Ke Dunia Nyata

Ilustrasi orang bermain Hp (Pexels/Mikoto.raw Photographer)
Ilustrasi orang bermain Hp (Pexels/Mikoto.raw Photographer)

Saya sepakat bahwa Gen Z tumbuh dalam rezim teknologi yang sedemikian pesat. Saya yakin bahwa ketergantungan pada ponsel pintar sejatinya tidak didorong oleh notifikasi semata, melainkan kebiasaan yang tak disadari banyak orang. Pasalnya, di ruang virtual kita tidak cuma sekadar membalas chat atau scrolling media sosial, tapi salah satu aspek yang bermuara pada persoalan teknologi mutakhir ini juga punya dampak positif yang saya rasa pun patut disyukuri, yaitu terbukanya ruang berekspresi sehingga mereka dengan leluasa bisa memberikan, menerima, membagikan, dan mengomentari suatu informasi. Tentu saja, itu bukan cuma kebetulan, tapi memang karena ada peran algoritma di sana. 

Namun, yang kita tidak boleh lupa, komunikasi tidak melulu bergantung pada media sosial tapi juga aspek emosional yang semestinya perlu diekspresikan melalui bahasa tubuh dan intonasi suara. Dari sini, jelas terlihat bahwa untuk urusan interaksi di dunia nyata nampaknya sudah tidak seperti dulu lagi. Sudah tidak seinteraktif itu. Harus diakui bahwa kehidupan interaktif di dunia maya memang begitu mengasyikkan dan punya daya tariknya tersendiri. Namun sayangnya, nuansa keasyikkan tersebut tidak ikut terbawa dalam interaksi di dunia nyata.

Kehadiran inovasi teknologi seperti media sosial telah memberikan dampak besar, dan perubahan ini mungkin sulit diterima, namun pada akhirnya, itu adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Yang jelas, bagaimana kedepannya, ya, tergantung pada masing-masing individu yang menjalaninya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak