Kuliah sambil Kerja: Antara Harapan dan Tekanan yang Menumpuk

Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Kuliah sambil Kerja: Antara Harapan dan Tekanan yang Menumpuk
Ilustrasi kuliah sambil kerja (Pexels/Andrea Piacquadio)

Kelelahan akademik sudah menjadi cerita sehari-hari bagi banyak mahasiswa yang mencoba menyeimbangkan dua dunia: kuliah dan kerja.

Dalam usaha mengejar mimpi dan memenuhi kebutuhan finansial, mereka sering kali terjebak dalam rutinitas yang menguras energi, baik fisik maupun mental.

Namun, apakah upaya ini benar-benar mendekatkan mereka pada tujuan atau justru menyeret mereka dalam lingkaran kelelahan yang tak berujung?

Tak bisa dipungkiri, banyak mahasiswa yang memilih untuk bekerja karena tuntutan ekonomi. Uang saku dari orang tua sering kali tidak cukup untuk menutupi biaya hidup, apalagi jika mereka merantau ke kota besar.

Di sisi lain, ada pula yang bekerja untuk mencari pengalaman atau membangun jaringan profesional sejak dini. Alasan-alasan ini tampak valid, tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perjuangan ini memiliki harga yang mahal: waktu istirahat yang hilang, produktivitas akademik yang menurun, dan kesehatan mental yang terganggu.

Bagi mahasiswa yang menjalaninya, waktu 24 jam terasa seperti tidak pernah cukup. Mereka harus bolak-balik antara kelas, tempat kerja, dan tugas-tugas yang menumpuk.

Tak jarang, tugas kuliah dikerjakan di sela-sela istirahat kerja atau bahkan larut malam. Dalam kondisi seperti ini, kualitas hasil kerja dan tugas sering kali menjadi korban.

Lebih dari itu, tekanan untuk tetap tampil prima di dua dunia ini bisa menjadi bom waktu yang memengaruhi keseimbangan hidup secara keseluruhan.

Masalah ini semakin pelik ketika kampus kurang memberikan dukungan. Fleksibilitas jadwal kuliah sering kali hanya sebatas wacana, sementara beban tugas tetap menuntut dedikasi penuh.

Belum lagi pandangan negatif dari sebagian dosen yang menganggap mahasiswa bekerja sebagai bentuk kurangnya fokus pada pendidikan.

Padahal, bekerja sering kali bukan pilihan, melainkan kebutuhan. Hal ini membuat mahasiswa terjepit antara tuntutan akademik dan kebutuhan finansial.

Namun, di balik semua tantangan ini, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik. Mahasiswa yang bekerja sambil kuliah biasanya lebih tangguh dalam manajemen waktu dan tekanan.

Mereka terbiasa hidup dengan prioritas yang jelas dan tanggung jawab yang besar. Akan tetapi, kemampuan ini tetap tidak bisa menggantikan pentingnya dukungan dari kampus, keluarga, dan lingkungan sekitar untuk membantu mereka mencapai keseimbangan yang sehat.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Mahasiswa perlu lebih peka terhadap kondisi diri mereka sendiri. Memahami batas kemampuan adalah kunci utama agar tidak terjebak dalam lingkaran kelelahan.

Di sisi lain, kampus juga harus berperan aktif dengan menciptakan kebijakan yang mendukung, seperti jadwal kuliah yang fleksibel atau program khusus untuk mahasiswa pekerja. Pendekatan ini akan membantu mengurangi tekanan sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan.

Kerja sambil kuliah bukan hanya tentang uang atau pengalaman, melainkan tentang keberanian menghadapi tantangan. Namun, keberanian ini harus didukung oleh sistem yang lebih manusiawi.

Jika tidak, upaya untuk membangun masa depan justru bisa berubah menjadi perjalanan yang penuh kelelahan tanpa ujung. Maka, sudah saatnya semua pihak kampus, mahasiswa, dan masyarakat, bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung. Bagaimana menurut Anda, siapkah kita memulai perubahan?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak