Bagi sebagian mahasiswa, kuliah sambil bekerja adalah realitas yang dihadapi dengan berbagai alasan. Ada yang ingin mandiri secara finansial, membantu keluarga, atau sekadar mencari pengalaman kerja sebelum lulus. Namun, apa yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana fenomena ini memengaruhi mahasiswa lainnya, yang mungkin tidak atau belum memilih jalan serupa.
Dalam percakapan ringan di kantin kampus, kerap muncul cerita tentang mahasiswa yang sukses membagi waktu antara pekerjaan dan tugas kuliah. Mereka menjadi sosok yang dikagumi, bahkan dianggap teladan oleh teman-teman seangkatannya. Namun, di sisi lain, ada yang merasa tertekan karena tidak mampu mengikuti jejak serupa. "Kok dia bisa kerja sambil kuliah dan tetap dapat IPK bagus? Gue aja fokus kuliah kadang masih kewalahan," ujar seorang mahasiswa, setengah bercanda namun sarat makna.
Dinamika ini menimbulkan pertanyaan: apakah mahasiswa pekerja benar-benar menjadi inspirasi, atau tanpa sadar menciptakan standar baru yang tidak semua orang bisa capai? Dalam konteks kampus, sering kali keberhasilan seseorang dipandang sebagai tolok ukur keberhasilan bersama. Padahal, setiap mahasiswa memiliki latar belakang, kapasitas, dan prioritas yang berbeda. Sebuah realitas yang jarang dibahas, tetapi nyata terasa.
Bagi mahasiswa pekerja, jalan yang mereka pilih tentu tidak mudah. Menjalani kuliah sambil bekerja berarti harus pintar membagi waktu dan energi. Meski demikian, banyak dari mereka tetap mendapat apresiasi lebih di lingkungan kampus. Namun, apakah apresiasi ini membuat mahasiswa lain merasa tertinggal? Ada yang merasa termotivasi, tetapi tak sedikit yang justru merasa tekanan sosial meningkat.
Uniknya, fenomena ini juga memengaruhi cara mahasiswa melihat kesuksesan. Bekerja sambil kuliah kini sering dianggap sebagai "paket lengkap" untuk menjadi lulusan ideal. Padahal, kesuksesan tidak melulu soal berapa banyak peran yang bisa diemban, melainkan bagaimana seseorang bisa menjalani pilihannya dengan maksimal. Stereotip mahasiswa pekerja yang serba bisa ini perlu ditinjau ulang agar tidak menjadi beban tambahan bagi mahasiswa lainnya.
Lalu, bagaimana sebaiknya kampus dan lingkungan sekitar menyikapi situasi ini? Barangkali, yang perlu ditekankan bukan sekadar "siapa yang lebih hebat," melainkan "siapa yang menemukan cara terbaik untuk dirinya sendiri." Membangun ruang dialog yang inklusif di antara mahasiswa, tanpa menempatkan mereka dalam hierarki sosial tertentu, bisa menjadi langkah awal yang penting.
Kuliah sambil bekerja memang inspiratif, tetapi bukan tanpa risiko. Bagi sebagian orang, itu adalah pilihan terbaik. Namun, bagi yang lain, fokus kuliah saja sudah menjadi perjuangan besar. Maka, daripada terus membandingkan, lebih baik saling mendukung dan menghargai bahwa setiap jalan yang diambil memiliki tantangan dan makna tersendiri. Bukankah itu yang membuat dunia mahasiswa penuh warna?