Ada yang berbeda dari dunia yang kita huni hari ini. Mencairnya gunung es di kutub utara mungkin bukan hal baru bagi kita saat ini. Namun pemandangan yang belum lama terjadi di Los Angeles Amerika, membuat kita menyadari betapa mengerikannya perubahan iklim.
David Wallace Wells (2019) menulis buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni. Di buku itu, Wallace menulis, “lebih buruk, jauh lebih buruk dari apa yang Anda pikirkan.”
Apa yang kita kira sebagai perubahan iklim, seruan-seruan dan peringatan kerusakan bumi itu nyata. Dan manusia, adalah aktor di balik itu semua.
Melalui perang, asap pabrik, perusakan alam melalui penggundulan hutan, hingga pencemaran air laut melalui bisnis tambang masih terus dilakukan. Di balik kemajuan dan segala yang dicapai manusia, kita hendak bunuh diri.
Sungguh ironi yang ada di depan mata kita. Kita seolah ingin mencapai kemajuan dengan pembangunan dengan segala keangkuhannya, di sisi lain kita juga bunuh diri dan merusak bumi yang kita tinggali ini.
Deforestasi di Indonesia misalnya membuat kita prihatin. Di tahun 2021-2022, sudah terjadi deforestasi sebesar 104 ribu hektar. Pada masa pemerintahan Jokowi, ribuan hektar hutan dibabat untuk proyek gagal bernama food estate.
Tak Punya Rencana
Dalam rencana tata kota Indonesia 2045, Indonesia memiliki dokumen berharga yang menjadi pijakan dalam membangun rancang bangun kota masa depan di Indonesia. Gambaran tata kota Indonesia masa depan itu termaktub dalam dokumen RPJN 2025-2045.
Target kota masa depan di Indonesia ke depan di antaranya, harus mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, menjamin keberlanjutan lingkungan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, membangun infrastruktur yang ramah lingkungan, mengembangkan kota pintar, meningkatkan akses layanan kesehatan, meningkatkan daya saing UMKM, meningkatkan efisiensi pelayanan public.
Sekilas, bila kita melihat rancang bangun kota Indonesia di masa depan, kita akan optimis. Tetapi kalau kita tilik lebih jauh, rancang bangun kota di Indonesia di masa depan belum mampu mengurai dua masalah utama mengenai kota-kota besar di Indonesia. Pertama, masalah AMDAL dan kedua masalah desain atau rancang bangun yang ramah lingkungan dan bebas dari bencana.
Kota dibangun tidak mengindahkan unsur artistik dan berkelanjutan. Dari segi bangunan, tata ruang, pusat pemerintahan, dan juga bangunan-bangunan di kota tidak disusun secara kontinuitas. Selera pembangunan adalah selera rezim atau penguasa.
Kedua masalah desain dan juga aspek ramah lingkungan sering diabaikan. Kepentingan ekonomi lebih diutamakan dan lebih dominan ketimbang masalah lingkungan. Padahal, masalah lingkungan ini akan mendukung dan menopang prospek ekonomi.
Masalah banjir, tanah longsor, sampai dengan kerusakan dan ketahanan bangunan sering tidak diperhatikan. Dalam jangka sepuluh tahun missal, kita bisa menilik bangunan mangkrak, jembatan rusak, dan kasus serupa yang terjadi di kota di Indonesia.
Ekonomi sebagai Tuhan
Kepentingan ekonomi dan politik dalam pembangunan tata kota Indonesia di masa depan menjadi prioritas utama. Masalah kemanusiaan, keselamatan lingkungan dan juga keberlanjutan tidak begitu diperhatikan. Kita bisa melihat, hampir pola pembangunan di pegunungan di seluruh Indonesia begitu seragam.
Logika pembangunan Vila, Hotel, Tempat wisata, tanpa memperhatikan bagaimana lingkungan pegunungan sebagai hutan lindung dan sebagai benteng dari angin serta hujan yang mengakibatkan banjir bagi wilayah atau daerah dataran rendah.
Akibatnya proyek betonisasi di wilayah pegunungan membuat air dari pegunungan tidak ada peresapan. Proyek-proyek ini di kota-kota besar telah terbukti mengakibatkan banjir karena hilangnya resapan air ke tanah pegunungan. Kepentingan ekonomi, bisnis dan juga politik lebih dominan ketimbang kepentingan manusia dan keberlanjutannya.
Hutan sebagai jantung dunia dan juga benteng dari krisis iklim dunia justru menjadi target dan sasaran empuk untuk kepentingan bisnis dan kapital.
Simak saja rencana Presiden Prabowo beserta Menteri kehutanan yang akan membuka lahan baru untuk sawit sebanyak 20 juta hektar hutan kita yang akan disulap menjadi kebun sawit dan proyek food estate baru.
Bunuh Diri
Ironis itulah kata yang pantas menggambarkan betapa tingkah laku dan tindakan kita seolah mengkhianati cita-cita luhur kita yang menginginkan bumi kita menjadi bumi yang subur, makmur dan terus abadi untuk anak cucu kita.
Apa yang kita lakukan seolah mempercepat kepunahan ekosistem yang ada di darat maupun di laut. Laut kita rusak oleh tambang dan pencemaran. Hutan kita, kita gunduli dan babat habis sendiri demi kepentingan perut dan ekonomi kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS