Kabur atau Bertahan? Mencari Solusi untuk Masa Depan Generasi Muda

Hernawan | Suriadi Suriadi
Kabur atau Bertahan? Mencari Solusi untuk Masa Depan Generasi Muda
Pelaku usaha UMKM di sepanjang jalan Malioboro merupakan daya tarik pariwisata D.I Yogyakarta, membuka peluang usaha (DocPribadi/Suriadi)

Beberapa pekan terakhir, fenomena tagar #KaburAjaDulu ramai diperbincangkan di jagat media sosial. Tagar ini mencerminkan keresahan generasi muda Indonesia terhadap berbagai tantangan ekonomi, politik, dan sosial di tanah air. Banyak yang menganggap bahwa mencari kesempatan di luar negeri adalah solusi terbaik untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Namun, apakah "kabur" merupakan jawaban yang tepat? Lapangan kerja yang terbatas dan upah yang tidak sebanding dengan biaya hidup menjadi alasan utama di balik fenomena ini. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia mencapai 4,91 persen.

Sementara itu, upah minimum di beberapa daerah masih belum mencukupi kebutuhan hidup layak. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan juga menunjukkan bahwa dari 44,33 juta anak muda (usia 15–24 tahun) pada Agustus 2024, sekitar 20,30 persen di antaranya tidak bekerja atau tidak bersekolah. Angka ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang cukup besar antara jumlah angkatan kerja muda dengan ketersediaan lapangan pekerjaan yang layak.

Keinginan untuk mencari peluang di luar negeri tercermin dari peningkatan jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI). Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat bahwa pada periode Januari hingga Juni 2024, terdapat 160.496 PMI yang ditempatkan di berbagai negara, dengan 79.344 di antaranya bekerja di sektor formal. Negara tujuan utama meliputi Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Jepang, dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa banyak generasi muda melihat peluang di luar negeri sebagai jalan keluar dari keterbatasan di dalam negeri.

Namun, bekerja di luar negeri bukan tanpa tantangan. BP2MI menerima 1.500 aduan terkait permasalahan PMI sepanjang 2024, dengan mayoritas kasus terjadi di Taiwan, Malaysia, Arab Saudi, Kamboja, dan Uni Emirat Arab. Selain itu, sejak 2020, sebanyak 110.640 PMI non-prosedural telah dideportasi, dan 2.597 di antaranya dipulangkan dalam kondisi meninggal dunia.

Fakta ini menunjukkan pentingnya prosedur resmi dan persiapan matang sebelum memutuskan bekerja di luar negeri. Risiko eksploitasi tenaga kerja, kondisi kerja yang tidak sesuai perjanjian, hingga hambatan budaya dan bahasa menjadi tantangan yang harus diperhitungkan dengan serius.

Meskipun bekerja di luar negeri menawarkan peluang lebih baik, ada pertanyaan besar yang perlu dijawab: apakah "kabur" adalah solusi jangka panjang atau sekadar bentuk pelarian? Setiap negara memiliki tantangannya sendiri, seperti biaya hidup yang lebih tinggi, persaingan ketat, dan adaptasi budaya yang tidak selalu mudah. Selain itu, jika generasi muda berbakat memilih meninggalkan Indonesia, siapa yang akan membangun dan memperbaiki negara ini?

Alih-alih mencari tempat yang lebih nyaman, generasi muda dapat mengambil peran dalam mendorong perubahan dari dalam negeri. Banyak negara maju yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya berkat kontribusi generasi mudanya dalam inovasi dan kewirausahaan. Misalnya, negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura mengalami lompatan ekonomi signifikan dalam beberapa dekade terakhir dengan fokus pada pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.

Langkah Menuju Perubahan

Fenomena #KaburAjaDulu mencerminkan keresahan yang harus diatasi oleh pemerintah dan masyarakat. Perbaikan sistem pendidikan, penciptaan lapangan kerja layak, dan kebijakan yang berpihak pada generasi muda adalah langkah yang harus segera dilakukan agar mereka tidak merasa perlu "kabur."

Data dari World Economic Forum menunjukkan bahwa negara yang berinvestasi dalam inovasi dan kewirausahaan bagi generasi muda mengalami peningkatan ekonomi signifikan dalam satu dekade. Dengan memberikan lebih banyak peluang kerja dan pendidikan berkualitas, pemerintah dapat mengurangi keinginan generasi muda untuk meninggalkan tanah air.

Bagi yang ingin mencoba hidup di luar negeri, penting untuk memiliki rencana matang. Bekerja atau belajar di luar negeri bisa menjadi pengalaman berharga yang nantinya dapat dibawa kembali untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun, keberangkatan harus dilakukan dengan persiapan yang matang, termasuk pemahaman mengenai aturan hukum di negara tujuan, kesiapan finansial, serta keterampilan yang relevan agar dapat bersaing di pasar kerja global.

Jadi, apakah "kabur" benar-benar solusi, atau kita harus mencari cara lain untuk menciptakan perubahan? Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada perspektif masing-masing individu. Bagi sebagian orang, mencari peluang di luar negeri bisa menjadi keputusan yang bijak untuk meningkatkan kualitas hidup dan pengalaman profesional. Namun, bagi yang memiliki semangat untuk membangun negeri, bertahan dan berkontribusi dalam perubahan adalah pilihan yang tidak kalah mulia.

Pada akhirnya, fenomena #KaburAjaDulu seharusnya tidak hanya dipandang sebagai bentuk keputusasaan, tetapi juga sebagai alarm bagi pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi generasi muda. Dengan adanya perbaikan sistemik, peluang kerja yang lebih baik, serta kebijakan yang mendukung perkembangan anak muda, mungkin suatu hari nanti tagar ini akan berubah menjadi #BangunAjaDulu.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak