Siapa yang tak kenal dengan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law? Aturan kontroversional ini memang dari awal sudah dijual dengan pernyataan manis bahwa akan membantu menciptakan lapangan kerj, membantu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan menarik investasi.
Pemerintah menyebut produk hukum ini sebagai sebuah kunci dari efisiensi birokrasi dan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Namun, di balik janji-janji manis dari pembentukannya, nyatanya terdapat banyak sisi lain yang perlu diperhatikan dari dampak produk hukum yang satu ini.
Salah satu hal yang perlu kita perhatikan sebagai rakyat yang peduli akan lingkungan adalah bagaimana kemudian bumi dibuat semakin terancam. Sebagai seorang manusia yang berpijak di bumi, sudah selayaknya kita para manusia khususnya generasi muda melakukan berbagai upaya untuk bisa hidup lama di planet ini.
Menurut pendapat penulis, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah bersuara kritis terhadap regulasi yang tidak bermanfaat bagi bumi (lingkungan). Produk hukum yang hendak dibahas kali ini adalah hukum Omnibus Law.
Kemudahan yang Membelenggu Bumi
Salah satu poin paling bermasalah dari UU Cipta Kerja adalah pemangkasan standar perlindungan lingkungan. Pemangkasan standar perlindungan lingkungan ini adalah suatu pemelemahan hukum. Bagaimana poinya membuay Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dibuat lebih longgar, bahkan partisipasi masyarakat dalam prosesnya dipersempit.
Walau mungkin kemudahan izin usaha ini akan membuat lapangan kerja, namun hal yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kemudian akhirnya lingkungan dikesampingkan demi mudahnya usaha tersebut. Kemudahan yang ditawarkan UU ini pada dasarnya justru membelenggu bumi dari haknya untuk tetap hidup.
Kemudian catatan yang paling kentara dari produk hukum ini adalah dampak buruk omnibus law adalah melemahnya upaya penegakan hukum dalam perlindungan lingkungan hidup.
Omnibus law telah menghapus prinsip tanggungjawab mutlak (strict liabilty) untuk para pelaku pencemaran. Ini jelas terlihat dari perubahan Pasal 88 UU Lingkungan Hidup terkait tanggung jawab mutlak bagi perusak lingkungan.
Suara kritis tersebut juga telah disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yang telah mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (5/6/2025).
Mereka menilai bahwa Undang-undang yang dibuat di era Presiden Joko Widodo ini dinilai berbahaya bagi lingkungan hidup dan masa depan Indonesia.
Pihaknya juga menilai bahwa UUCK yang disebut sebagai Omnibus Law pertama di Indonesia tidak jauh berbeda dengan undang-undang masa kolonial dan berbahaya bagi lingkungan.
UUCK telah menggeser izin lingkungan menjadi persetujuan lingkungan. Pergeseran ini memicu sejumlah masalah fundamental yang memicu kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat.
Bagi penulis, sejatinya hukum lahir untuk melindungi kepentingan publik. Namun dalam UU Cipta Kerja masih banyak pasal yang justru lebih berpihak pada modal.
Mekanisme perizinan dipangkas, kewenangan daerah dipreteli, dan ruang kontrol publik makin terbatas. Dalam situasi ini, bagi penulis saat ini produk hukum ini memungkinkan akan terjadinya masalah yang akan memicu kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat di kemudian harinya.
Suara Kritis yang Tak Bisa Dibungkam
Sejak awal adanya UU ini gelombang penolakan terhadap UU Cipta Kerja memang sudah datang dari banyak arah, seperti akademisi, aktivis lingkungan, organisasi masyarakat sipil, hingga mahasiswa melakukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Ini adalah bukti bahwa masalah bumi ini memang serius ini. Ini bukan sekadar soal teknis hukum, tapi soal prinsip. Bagi penulis, suara anak muda yang turun ke jalan atau bersuara lewat media sosial adalah tanda bahwa kami tidak akan tinggal diam dan hal ini telah terbukti dari masifnya suara protes terkait Omnibus Law ini.
Merdeka untuk Bumi, Merdeka untuk Masa Depan
Dari pembahasan diatas, yang ingin penulis sampaikan adalah suara ini untuk bumi. Negara tidak bisa sekadar berjanji menjaga lingkungan tanpa wujud nyata dalam produk hukumnya.
Jika hukum justru menjadi instrumen kemunduran hijau, maka apa arti semua retorika tentang pembangunan berkelanjutan? Di titik inilah, masyarakat harus terus bersuara agar janji negara tidak berhenti pada kata-kata, tetapi hadir sebagai perlindungan nyata bagi bumi dan warganya.