kolom
Gasifikasi Batu Bara: Terobosan Energi atau Perjudian Rp180 Triliun?

Yoursay.id - Presiden Prabowo Subianto berencana melanjutkan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME sebagai pengganti Gas LPG, yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional di era pemerintahan Joko Widodo.
Dengan investasi sebesar Rp180 triliun, proyek ini dianggap sebagai langkah besar dalam mengurangi ketergantungan impor LPG. Namun, keputusan ini menimbulkan banyak kontroversi, terutama mengingat bahwa dua negara besar, Amerika Serikat dan China, telah memilih mundur dari proyek ini karena dinilai tidak ekonomis.
Secara sederhana, proyek ini bertujuan mengubah batu bara berkalori rendah menjadi gas sintetik yang kemudian dikonversi menjadi Dimethyl Ether (DME). DME ini dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) dalam keperluan rumah tangga dan industri.
Namun, meskipun terdengar menjanjikan, proses ini memerlukan investasi besar, teknologi canggih, dan infrastruktur yang belum sepenuhnya siap di Indonesia.
Ambisi pemerintah dalam membangun proyek ini patut dipertanyakan. Jika negara maju seperti Amerika Serikat dan China saja mundur karena faktor keekonomian, mengapa Indonesia justru memilih untuk maju? Risiko kerugian sangat besar, terutama jika proyek ini nantinya tidak bisa berjalan sesuai rencana.
Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah apakah DME lebih efisien dibandingkan LPG? Beberapa pejabat pemerintah menyatakan bahwa pembakaran DME lebih efisien daripada LPG, dengan sisa fraksi karbon yang lebih sedikit.
Namun, beberapa pihak menyoroti bahwa biaya produksi DME saat ini lebih tinggi dibandingkan LPG. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, menekankan bahwa harga DME harus lebih murah dari LPG untuk menarik minat masyarakat beralih ke DME.
Dalam aspek lingkungan, DME dianggap lebih ramah lingkungan karena memiliki emisi karbon lebih rendah dibandingkan LPG, namun proses produksinya tetap mengandalkan batu bara, yang merupakan sumber energi fosil dengan dampak lingkungan yang signifikan.
Ambisi pemerintah untuk membangun industri DME memang tampak sebagai langkah strategis dalam upaya kemandirian energi. Namun, mempertimbangkan berbagai faktor, mulai dari risiko finansial, hingga dampak lingkungan, proyek ini lebih terlihat sebagai perjudian besar dengan risiko yang tidak sebanding dengan potensi keuntungannya.
Meskipun ada klaim bahwa DME lebih efisien dalam proses pembakaran, biaya produksinya saat ini masih lebih tinggi dibandingkan LPG. Alih-alih menjadi solusi energi, proyek gasifikasi batu bara ini berisiko menjadi beban ekonomi jika tidak dikelola dengan cermat—apakah Indonesia siap menanggung konsekuensinya?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS