Mengapa Ibu Indonesia Menghindari Pembicaraan Emosional pada Anak?

Hernawan | Rion Nofrianda
Mengapa Ibu Indonesia Menghindari Pembicaraan Emosional pada Anak?
Ilustrasi ibu membawa dengan anak (pexels/Andrea Piacquadio)

Penelitian berjudul “SHE FEELS AND THINKS”: Mother’s Emotion and Mental State Talk on Book Reading Activities, yang ditulis oleh Putri, Kuntoro, dan Nurdin (2024) diterbitkan di Jurnal Psikologi Ulayat memberikan sebuah telaah menarik mengenai pengaruh Emotion and Mental State Talk (EMST) dalam kegiatan membaca buku bersama ibu dan anak di Indonesia.

Penelitian ini memiliki tujuan yang jelas yaitu untuk mengidentifikasi jenis-jenis EMST yang digunakan oleh ibu, frekuensi penggunaannya di berbagai tingkat kesulitan bacaan, serta fungsi sosial dan kultural dari EMST dalam konteks Indonesia. Meskipun penelitian ini berkontribusi penting terhadap literatur tentang pengaruh budaya terhadap komunikasi emosional antara orang tua dan anak, terdapat beberapa aspek yang perlu dikritisi untuk menggali pemahaman yang lebih dalam mengenai fenomena ini.

Salah satu kontribusi utama penelitian ini adalah upaya untuk menjawab kekosongan dalam penelitian tentang EMST dalam konteks budaya Indonesia, yang selama ini cenderung lebih banyak ditemukan dalam penelitian dengan latar budaya Barat. Penelitian ini memperkenalkan pemahaman baru mengenai bagaimana budaya Indonesia memengaruhi interaksi orang tua dan anak, khususnya terkait cara ibu berbicara tentang perasaan dan keadaan mental selama aktivitas membaca buku. Menggunakan metode analisis kualitatif terhadap rekaman video interaksi ibu dan anak, para peneliti berhasil menggali jenis-jenis EMST yang sering muncul dalam percakapan tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu di Indonesia lebih sering menggunakan desire talk dalam percakapan mereka dengan anak, sebuah jenis EMST yang berfokus pada keinginan atau harapan, dibandingkan dengan berbicara mengenai perasaan atau keadaan mental karakter dalam cerita. Ini adalah temuan yang cukup menarik, mengingat banyak penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa berbicara mengenai perasaan atau kondisi mental, seperti mental state talk atau emotion explanation, memiliki dampak positif terhadap pemahaman sosial anak, terutama dalam pengembangan Theory of Mind (ToM).

Namun, di Indonesia, ibu lebih memilih untuk menjelaskan karakter-karakter dalam cerita atau alur cerita itu sendiri, ketimbang mengaitkan perasaan atau pemikiran karakter dengan pengalaman emosional anak. Dengan demikian, meskipun tujuan EMST adalah untuk membantu anak memahami keadaan emosional dan kognitif orang lain, ibu di Indonesia cenderung memilih pendekatan yang lebih berbasis pengetahuan, seperti menjelaskan cerita dan deskripsi karakter.

Faktor budaya menjadi penjelas utama dari temuan ini. Di Indonesia, terdapat norma sosial yang kuat mengenai pengendalian emosi. Dalam budaya kolektivisme yang lebih menekankan pada keharmonisan dan kedamaian sosial, ekspresi emosional yang terbuka seringkali dianggap kurang sesuai atau bahkan tabu dalam interaksi sehari-hari. Ibu-ibu di Indonesia, yang tumbuh dalam lingkungan sosial seperti ini, lebih cenderung untuk menghindari pembicaraan yang terlalu ekspresif tentang perasaan atau pemikiran yang dapat dianggap sebagai ungkapan pribadi yang berlebihan.

Penggunaan desire talk dan penjelasan yang lebih objektif mengenai karakter atau alur cerita mencerminkan cara berkomunikasi yang lebih terstruktur dan lebih aman secara sosial. Ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat potensi positif dari EMST dalam membangun pemahaman sosial anak, ibu di Indonesia mungkin merasa lebih nyaman dengan pendekatan yang lebih pragmatis dan kurang spontan dalam berbicara tentang emosi atau keadaan mental.

Namun, meskipun temuan ini sangat relevan dengan konteks budaya Indonesia, ada beberapa kekurangan dalam metodologi yang digunakan. Penelitian ini bergantung pada data sekunder yang berupa rekaman video kegiatan membaca buku oleh ibu dan anak. Meskipun pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengamati interaksi secara langsung, namun ada potensi bahwa data yang terkumpul tidak sepenuhnya representatif dari seluruh spektrum interaksi ibu-anak di Indonesia.

Tidak disebutkan secara rinci jumlah partisipan yang terlibat dalam penelitian ini, atau apakah mereka berasal dari berbagai latar belakang sosial ekonomi yang berbeda. Sebuah sample yang lebih beragam akan sangat bermanfaat untuk memberikan gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana EMST digunakan di Indonesia, dan apakah terdapat perbedaan penggunaan EMST antara ibu dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda.

Selain itu, dalam konteks analisis video, salah satu keterbatasan yang mungkin terjadi adalah hanya sebagian kecil interaksi yang tercatat, yang dapat mengarah pada bias dalam interpretasi. Keterbatasan ini dapat menyebabkan kurangnya pemahaman yang mendalam tentang dinamika interaksi yang lebih luas antara ibu dan anak, yang tentu saja berperan dalam membentuk cara berbicara tentang emosi dan keadaan mental.

Meskipun demikian, penelitian ini membuka peluang besar bagi penelitian lebih lanjut mengenai peran budaya dalam komunikasi orang tua-anak di Indonesia, khususnya dalam pengembangan sosial anak. Implikasi dari penelitian ini juga cukup besar, baik di bidang pendidikan maupun pengasuhan. Bagi para pendidik dan orang tua, penelitian ini menyarankan perlunya pengenalan yang lebih baik mengenai pentingnya berbicara tentang emosi dan keadaan mental dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat membaca buku bersama anak.

Hal ini tidak hanya membantu anak dalam mengembangkan kemampuan Theory of Mind, tetapi juga memperkaya pengalaman emosional dan kognitif mereka. Oleh karena itu, pengembangan materi ajar atau buku cerita anak yang lebih mengakomodasi pembicaraan tentang perasaan atau pemikiran karakter dalam cerita bisa menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan kualitas interaksi orang tua-anak di Indonesia.

Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan wawasan baru yang sangat berharga dalam memahami bagaimana budaya Indonesia mempengaruhi cara orang tua berinteraksi dengan anak mereka, khususnya dalam kegiatan membaca buku bersama. Temuan bahwa ibu di Indonesia lebih memilih menggunakan desire talk dan memberikan penjelasan lebih banyak tentang karakter dan alur cerita daripada berbicara mengenai keadaan mental dan emosi karakter, menunjukkan adanya pengaruh kuat dari norma sosial yang menekankan pengendalian emosi dan kedamaian dalam interaksi sosial.

Namun, penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan variatif perlu dilakukan untuk memperdalam pemahaman kita tentang fenomena ini dan dampaknya terhadap perkembangan sosial dan kognitif anak-anak di Indonesia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak