Keruntuhan Reformasi: RUU TNI Disahkan, Protes Publik Diabaikan?

Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Keruntuhan Reformasi: RUU TNI Disahkan, Protes Publik Diabaikan?
Ilustrasi militer (Pixabay)

DPR RI secara resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah menteri.

Rapat berlangsung di ruang Paripurna gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Kamis, 20 Maret 2025. Sidang dipimpin oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani, yang didampingi oleh Wakil Ketua DPR, antara lain Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Puan Maharani kemudian mengetuk palu untuk mengesahkan RUU TNI dalam sidang tersebut. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Wamenkeu Thomas Djiwandono, serta Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi turut hadir dalam rapat paripurna ini.

Meskipun menuai kritik keras dari publik, DPR dan pemerintah tetap bersikukuh untuk membawa Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU No. 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) ke dalam sidang paripurna pada Kamis, 20 Maret 2025 dan telah berhasil disahkan.

Berbagai kalangan masyarakat sipil terus menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI ini, karena dianggap mengurangi supremasi sipil.

RUU TNI yang telah dibahas dan disahkan oleh DPR serta pemerintah tersebut mengubah beberapa pasal yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan utama TNI. Di antaranya adalah perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI aktif serta penambahan usia pensiun bagi anggota TNI.

Gelombang penolakan terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) hingga saat ini semakin meluas di berbagai daerah di Indonesia dalam sepekan terakhir.

Aksi-aksi penolakan mulai dari kampanye di media sosial, demonstrasi mahasiswa di jalanan, hingga pernyataan sikap dari tokoh bangsa dan akademisi telah banyak disuarakan dalam beberapa hari terakhir. 

Aksi penolakan yang berlangsung serentak di berbagai kota besar menunjukkan adanya gelombang ketidakpuasan yang meluas. Banyak yang menganggap bahwa RUU TNI ini bisa memundurkan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah pasca-reformasi.

Para pengkritik khawatir bahwa RUU ini akan mengarah pada penguatan peran TNI dalam kehidupan politik dan pemerintahan, yang sebelumnya telah dikurangi sejak penghapusan dwifungsi militer.

Mereka mengkritik pembahasan yang dipercepat terhadap revisi UU TNI, yang bahkan dianggap dilakukan secara tertutup atau diam-diam, dengan tujuan agar dapat disahkan sebelum reses DPR.

Penolakan terhadap RUU TNI ini disuarakan oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, aktivis, hingga akademisi, karena dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer yang sudah dihapus pasca-reformasi 1998.

Namun, meskipun berbagai protes dan aspirasi tersebut telah disuarakan, DPR dan pemerintah tampaknya tetap berkomitmen untuk mengesahkan RUU TNI tanpa mengindahkan suara tersebut.

Dalam sidang paripurna yang berlangsung, keputusan pengesahan tetap dilaksanakan meskipun diwarnai dengan protes keras dari publik. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah pemerintah dan DPR benar-benar mendengarkan aspirasi rakyat atau justru lebih mementingkan agenda politik tertentu?

Keputusan untuk mengesahkan RUU TNI di tengah gelombang protes publik membuka diskusi lebih dalam mengenai kualitas demokrasi di Indonesia.

Demokrasi yang sehat seharusnya melibatkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan. Namun, pengesahan RUU TNI ini menciptakan kesan bahwa suara rakyat diabaikan, dan keputusan hanya diambil oleh segelintir pihak yang duduk di pemerintahan dan legislatif.

Pengesahan RUU TNI ini berpotensi menciptakan ketegangan antara pemerintah, DPR, dan masyarakat sipil, yang mungkin merasa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan.

Proses legislatif yang tidak terbuka dan tidak mendengarkan protes publik dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara, yang pada gilirannya dapat mengancam stabilitas politik dan sosial.

Sekarang, RUU TNI yang telah disahkan menjadi undang-undang akan dihadapkan pada tantangan implementasi. Sebagai produk hukum, RUU ini akan memiliki dampak jangka panjang terhadap hubungan antara TNI, pemerintah, dan masyarakat.

Meskipun protes terhadap pengesahan RUU ini tidak berhasil menghentikan jalannya kebijakan, tantangan sesungguhnya adalah bagaimana kebijakan ini diterapkan di lapangan dan bagaimana masyarakat akan terus mengawal agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan.

Pada akhirnya, ini menjadi ujian bagi demokrasi Indonesia: sejauh mana suara rakyat dapat dihargai dan diperhatikan dalam pembuatan kebijakan yang penting bagi masa depan negara. Jika aspirasi masyarakat terus diabaikan, maka mungkin akan ada gelombang protes yang lebih besar di masa depan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak