Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali mengalami pelemahan signifikan, mencapai level terendah sejak krisis moneter 1998. Pada Selasa, 25 Maret 2025, rupiah sempat menyentuh angka Rp16.640 per dolar AS, mendekati rekor terendah Rp16.800 yang terjadi pada Juni 1998.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor dan masyarakat mengenai stabilitas ekonomi Indonesia. Namun, alih-alih menunjukkan langkah nyata untuk meredam kekhawatiran, pemerintah tampak tetap optimis dan menganggap situasi ini masih terkendali.
Bank Indonesia (BI) memang menyatakan kesiapannya untuk melakukan intervensi guna menstabilkan rupiah, tetapi sampai saat ini belum ada tindakan konkret yang diambil. Sementara itu, pemerintah justru mengklaim bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat.
Sejumlah faktor internal dan eksternal menjadi penyebab utama pelemahan rupiah yang berkepanjangan. Di sisi internal, pasar masih skeptis terhadap kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.
Di sisi eksternal, penguatan dolar AS juga menjadi faktor utama yang menekan mata uang negara-negara berkembang, termasuk rupiah. Sejak awal tahun, The Federal Reserve masih mempertahankan suku bunga tinggi untuk menekan inflasi di Amerika Serikat, menyebabkan aliran modal keluar dari negara-negara berkembang dan menguatkan dolar AS.
Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pelemahan rupiah bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Menurutnya, Indonesia masih memiliki cadangan devisa yang cukup dan ekspor yang stabil.
Meskipun ada pernyataan optimis dari pemerintah dan BI, beberapa pihak menilai respons tersebut kurang memadai mengingat seriusnya situasi.
Kritik utama yang muncul adalah kurangnya tindakan konkret dan transparansi dalam strategi pemerintah menghadapi pelemahan rupiah. Pernyataan optimis tanpa diikuti langkah nyata dianggap tidak cukup untuk meredakan kekhawatiran pasar dan masyarakat.
Jika pelemahan rupiah terus dibiarkan tanpa langkah tegas, dampaknya bisa semakin meluas, termasuk inflasi yang tak terkendali dan melemahnya daya beli masyarakat.
Melemahnya rupiah tentu tidak hanya menjadi masalah bagi investor atau pelaku pasar keuangan, tetapi juga berdampak langsung pada masyarakat luas.
Salah satu dampak paling nyata adalah kenaikan harga barang impor, termasuk bahan baku industri dan kebutuhan pokok yang masih bergantung pada impor. Jika rupiah terus terdepresiasi, harga barang-barang tersebut akan semakin mahal, yang pada akhirnya dapat memicu lonjakan inflasi.
Pelemahan rupiah hingga menyentuh level yang mendekati krisis 1998 tentu memunculkan kekhawatiran bahwa Indonesia bisa mengalami krisis yang serupa.
Jika pelemahan rupiah terus berlanjut tanpa intervensi yang efektif, risiko ekonomi yang lebih besar tetap mengintai. Sejarah telah mengajarkan bahwa krisis ekonomi sering kali berawal dari ketidaksiapan pemerintah dalam merespons gejolak pasar dengan cepat dan tepat.
Pelemahan rupiah yang semakin mendekati level krisis 1998 harus menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah nyata dan strategis. Pernyataan optimis saja tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaan pasar dan menstabilkan ekonomi.
Diperlukan kebijakan yang tegas, transparansi dalam komunikasi kepada publik, serta strategi jangka panjang untuk memperkuat ketahanan ekonomi nasional. Jika tidak, maka Indonesia berisiko terjebak dalam krisis yang bisa semakin dalam dan sulit untuk dipulihkan.
Masyarakat berharap pemerintah tidak hanya memberikan janji dan optimisme, tetapi benar-benar menunjukkan komitmen dalam menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Karena jika rupiah terus melemah tanpa penanganan yang tepat, dampaknya bisa lebih buruk dari yang dibayangkan.
Apakah menurutmu Indonesia benar-benar siap menghadapi pelemahan rupiah ini, atau justru sedang menuju krisis yang lebih besar?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS