Judi Online, Lebaran, dan Daya Beli yang Tergerus: Tanggung Jawab Siapa?

Hayuning Ratri Hapsari | Naufal Mamduh
Judi Online, Lebaran, dan Daya Beli yang Tergerus: Tanggung Jawab Siapa?
Ilustrasi judi online (Freepik.com)

Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, baru-baru ini bilang kalau judi online jadi salah satu penyebab utama turunnya daya beli masyarakat selama Lebaran. Menurut beliau, banyak uang masyarakat yang mestinya dipakai buat kebutuhan pokok atau belanja hari raya malah habis untuk main judi online.

Sebagai warga yang ikut merasakan harga-harga makin tinggi dan dompet makin tipis, saya gak bisa langsung bilang beliau salah. Tapi, jujur saja, pernyataan ini bikin saya bertanya-tanya: emang sesimpel itu?

Buat gambaran, menurut data Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), jumlah uang yang mengalir ke judi online mencapai angka yang luar biasa: Rp900 triliun per tahun. Iya, kamu gak salah baca. Angka itu hampir setara dengan setengah dari APBN kita.

Kebayang gak, betapa besarnya uang rakyat yang hilang ke dunia maya tanpa jejak pajak, tanpa manfaat ekonomi riil, dan tanpa perlindungan hukum?

Di satu sisi, pernyataan Menteri UMKM itu masuk akal. Di saat masyarakat butuh belanja untuk Lebaran, ada sebagian yang justru tergoda judi online dan kehabisan uang sebelum hari raya tiba. Tapi kalau mau jujur, judi online bukan tiba-tiba muncul tahun ini.

Negara di Mana saat Judi Online Merajalela?

Kalau judi online sudah menyedot Rp900 triliun tiap tahun, pertanyaan pentingnya: negara ke mana aja selama ini? Kenapa situs-situs ini masih bebas muncul? Kenapa transaksi mereka masih bisa lolos dari pengawasan?

Padahal kalau ditelusuri, platform judi online punya pola dan jaringan. Mereka bukan cuma sebar link, tapi sudah pakai influencer, akun palsu, bahkan promosi terselubung lewat game dan aplikasi. Tapi kok sistem kita selalu kalah satu langkah?

Kita jadi bertanya-tanya, apakah yang ditindak hanya pemain kecil, sementara aktor besar masih bisa santai di balik layar

Jujur aja, saya dan mungkin banyak orang lain merasakan sendiri, Lebaran kali ini gak semeriah dulu. Harga bahan pokok naik, THR gak seberapa, tapi kebutuhan numpuk. Bukan cuma buat beli baju baru, tapi juga buat mudik, kasih uang ke orang tua, beli makanan buat keluarga.

Jadi kalau daya beli turun, ya bukan karena judi online doang. Ada banyak faktor lain: inflasi, gaji gak naik-naik, cicilan, sampai tekanan sosial yang bikin orang harus tetap “terlihat mampu” meski dompet nangis.

Judi online memang memperparah, tapi bukan satu-satunya penyebab. Menyederhanakan masalah bisa bikin solusi kita gak tepat sasaran.

Solusi Jangan Setengah Hati

Kalau pemerintah serius mau selamatkan daya beli rakyat, langkahnya harus lebih dari sekadar pernyataan prihatin. Harus ada edukasi tentang keuangan sejak dini, program literasi digital yang menjangkau semua kalangan, dan sistem hukum yang tegas ke bandar-bandar besar.

Bukan malah menyalahkan warga yang terjebak, tapi gak berani mengusut pelaku utama yang mengeruk untung dari penderitaan orang lain.

Dan jangan lupa: kasih ruang buat warga buat berkembang secara legal. Buka lapangan kerja, permudah UMKM naik kelas, bikin platform digital yang aman. Kalau rakyat punya harapan dan akses yang adil, godaan untuk berjudi juga bakal berkurang.

Judi online itu masalah nyata, tapi kalau negara cuma bisa tunjuk jari ke masyarakat tanpa introspeksi, kita gak bakal ke mana-mana. Masyarakat memang perlu sadar dan waspada, tapi pemerintah juga harus berani bilang: “Kami kecolongan, dan kami siap berubah.”

Jangan tunggu Lebaran tahun depan untuk menyalahkan rakyat lagi. Mulai dari sekarang, mari sama-sama bersih-bersih sistem, bukan cuma bersih-bersih ucapan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak