Polri Menuju Lembaga Super Kuat? Ancaman di Balik Revisi UU Polri

Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Polri Menuju Lembaga Super Kuat? Ancaman di Balik Revisi UU Polri
Personel Polres Metro Jakarta Pusat saat bersiaga untuk mengawal unjuk rasa di Jakarta, Senin (17/2/2025). (Foto dok. Humas Polres Metro Jakpus)

Proses revisi Undang-Undang Kepolisian (UU Polri) yang saat ini bergulir di DPR mendapat penolakan keras dari berbagai kalangan.

Kelompok sipil dan pakar hukum menilai revisi ini bukan untuk memperbaiki kepolisian yang selama ini sarat dengan masalah penyalahgunaan kekuasaan, tetapi justru berpotensi memperkuat kewenangan Polri secara berlebihan tanpa pengawasan yang memadai.

Draf RUU Polri yang tengah dibahas dianggap tidak menyentuh akar permasalahan utama dalam tubuh kepolisian, yaitu lemahnya pengawasan terhadap institusi ini.

Berbagai kasus pelanggaran hukum yang melibatkan oknum polisi, seperti kekerasan, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang, menjadi bukti nyata bahwa sistem pengawasan yang ada saat ini belum efektif. Namun, dalam revisi yang diusulkan, penguatan pengawasan eksternal terhadap Polri justru tidak menjadi prioritas.

Bambang Rukminto, pengamat keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), menyoroti bahwa dalam draf revisi, pengawasan internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum) masih berada dalam struktur kepolisian itu sendiri. Akibatnya, sistem kontrol ini tidak objektif dan rawan konflik kepentingan.

Pasal-Pasal Bermasalah dalam RUU Polri

Kajian dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan setidaknya 12 pasal yang berpotensi bermasalah dalam draf RUU Polri. Beberapa di antaranya yang paling kontroversial adalah:

  1. Pasal 14 ayat (1) huruf c – Pasal ini memberikan wewenang kepada Polri untuk "melaksanakan tugas lain" tanpa batasan yang jelas. Tanpa batasan yang spesifik, pasal ini bisa dijadikan alasan bagi Polri untuk memperluas pengaruhnya ke berbagai bidang, bahkan yang tidak berkaitan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat.
  2. Pasal 14 ayat (1) huruf o – Pasal ini memberikan diskresi besar bagi polisi untuk melakukan penyadapan yang berisiko mengekang kebebasan sipil dan hak privasi masyarakat. Penyadapan yang dilakukan tanpa pengawasan ketat bisa disalahgunakan untuk memata-matai warga negara, jurnalis, aktivis, atau oposisi politik tanpa alasan yang sah.
  3. Pasal 16 ayat (1) huruf p – Pasal ini mengharuskan penyidik dari lembaga lain, termasuk KPK, untuk mendapatkan surat pengantar dari kepolisian sebelum menyerahkan berkas penyidikan kepada jaksa. Artinya, lembaga lain berpotensi dihambat atau bahkan dikendalikan oleh kepolisian.
  4. Pasal 16 ayat (1) huruf q – Pasal ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan pemblokiran dan perlambatan akses internet. Kewenangan ini bisa digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah atau kepolisian itu sendiri, serta mengancam kebebasan berekspresi masyarakat.

Dengan berbagai kewenangan baru yang diberikan dalam RUU ini, Polri berisiko menjadi lembaga super kuat yang kebal dari pengawasan. Beberapa pengaturan dalam revisi ini bahkan berpotensi menjadikan Polri sebagai aktor politik yang memiliki kendali besar atas berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Dalam sejarah, Polri pernah menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebelum akhirnya dipisahkan pascareformasi 1998. Namun, dengan revisi yang diusulkan, ada kekhawatiran bahwa Polri akan kembali memiliki kekuatan yang tidak terkontrol, mirip dengan kondisi sebelum reformasi.

Jika tujuan revisi UU Polri adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan transparansi institusi ini, maka seharusnya aspek pengawasan dan kontrol diperkuat, bukan justru diperlemah. Tanpa sistem pengawasan yang ketat, penyalahgunaan wewenang yang selama ini menjadi masalah utama Polri dikhawatirkan akan semakin sulit dikendalikan.

Masyarakat sipil dan pakar hukum sudah menyuarakan kekhawatiran mereka. Kini, keputusan ada di tangan DPR: apakah mereka akan mendengar suara rakyat dan memperbaiki draf RUU ini, atau justru meloloskannya tanpa perubahan berarti?

Jika yang terjadi adalah opsi kedua, maka Indonesia harus bersiap menghadapi era baru di mana Polri menjadi kekuatan yang lebih besar dari yang seharusnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak