Dehumanisasi Digital: Saat AI Mengambil Peran Manusia

Hayuning Ratri Hapsari | Qomaruddin bin Bahrun
Dehumanisasi Digital: Saat AI Mengambil Peran Manusia
Ilustrasi manusia bersama AI (freepik.com/lifestylememory)

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu cepat, kita seolah hidup dalam dunia yang penuh kemudahan. Kita bisa memesan makanan, berkonsultasi kesehatan, bahkan membuat puisi cinta—semua hanya dengan sentuhan jari dan bantuan kecerdasan buatan (AI). Namun di balik segala kemudahan itu, ada sesuatu yang perlahan mulai hilang: rasa kemanusiaan kita.

Inilah yang mulai dikenal sebagai dehumanisasi digital—sebuah kondisi ketika teknologi tidak lagi menjadi alat bantu, melainkan mengambil alih peran manusia secara perlahan namun pasti.

Apa Itu Dehumanisasi Digital?

Dehumanisasi secara umum berarti proses menghilangkan sisi-sisi manusiawi dari seseorang atau sekelompok orang. Dalam konteks digital, ini terjadi ketika interaksi, pengambilan keputusan, hingga cara kita memahami makna hidup mulai digantikan oleh algoritma dan sistem otomatis.

Misalnya, ketika anak-anak lebih nyaman bicara dengan avatar game daripada dengan orang tuanya. Atau ketika sistem rekrutmen kerja menyaring kandidat berdasarkan kata kunci dalam CV, tanpa sempat memahami keunikan dan potensi sesungguhnya.

Bahkan dalam pendidikan, banyak siswa (dan juga guru) kini lebih sering belajar dari video AI daripada berdiskusi dengan guru atau teman sejawat.

Belajar Jadi Mandiri, tapi Sepi

Saat ini, belajar secara mandiri dengan bantuan teknologi menjadi sangat populer. Kita bisa mengakses tutorial, e-learning, hingga AI yang bisa menjawab pertanyaan rumit dalam hitungan detik. Tapi apakah semua itu cukup?

Kita perlu memahami kembali, bahwa belajar bukan hanya soal menyerap informasi. Ia adalah proses yang sarat dengan nilai, pengalaman, dan relasi. Guru bukan sekadar penyampai materi, tapi juga penuntun arah. Dalam relasi langsung, kita belajar mendengarkan, berdialog, dan menghayati.

Ketika proses itu tergantikan oleh layar dan sistem otomatis, kita memang lebih cepat tahu—tapi bisa jadi lebih dangkal dalam memahami informasi.

Tanda-Tanda Dehumanisasi yang Mulai Terlihat

Fenomena ini tak lagi samar. Banyak dari kita mulai merasa:

  • Lebih nyaman curhat ke chatbot daripada manusia
  • Lebih percaya rating dan algoritma daripada nasihat orang tua
  • Lebih sering mengikuti saran sistem otomatis ketimbang naluri sendiri

Kita didorong untuk hidup efisien dan cepat, tapi kehilangan waktu untuk merenung, berbagi cerita, dan membangun relasi. Kita terjebak dalam sistem yang menjadikan kita sebagai pengguna data, bukan subjek yang utuh.

Teknologi Bukan Musuh, Tapi Perlu Arahan

Artikel ini bukan ajakan untuk membenci teknologi atau AI. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk menggunakan teknologi secara sadar dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. AI bisa membantu kita menjadi lebih efisien, tapi jangan sampai membuat kita kehilangan jati diri.

Kita perlu bertanya:

  • Apakah teknologi ini membuat kita lebih peduli, lebih bijak, dan lebih manusia?
  • Atau malah membuat kita pasif, tergantung, dan kehilangan arah?

Menjaga Kemanusiaan di Era Digital

Kita masih bisa memilih. Kita masih bisa menyusun arah ke depan. Kita butuh lebih banyak ruang diskusi, edukasi, dan kesadaran kritis. Mari mulai dari hal kecil: tetap menghadirkan waktu untuk bicara langsung, belajar dari pengalaman orang lain, dan tidak menyerahkan semua keputusan penting kepada mesin.

Artikel ini adalah awal dari diskusi tentang “Menjaga Kemanusiaan di Era AI”. Serial ini akan mengajak kita menggali lebih dalam tentang bagaimana teknologi bisa kita arahkan untuk memperkuat, bukan menggantikan, kemanusiaan kita.

Karena masa depan kita bukan hanya tentang siapa yang paling canggih, tapi siapa yang tetap punya hati dan nurani, tetap menjadi manusia sejati.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak