Keputusan Prabowo Subianto pada 25 November 2025 untuk memberi rehabilitasi kepada tiga pihak yang terlibat dalam perkara dugaan korupsi terkait kerja sama usaha serta akuisisi PT Jembatan Nusantara oleh PT ASDP, menimbulkan pertanyaan serius, yakni apakah ini bentuk keadilan atau intervensi kekuasaan?
Mereka adalah mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, Direktur Perencanaan dan Pengembangan Harry Muhammad Adhi Caksono, serta mantan Direktur Komersial dan Pelayanan ASDP Muhammad Yusuf Hadi.
Dalam putusan pengadilan, Ira Puspadewi dihukum 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta. Namun hanya lima hari kemudian, rehabilitasi diteken presiden, meskipun kasus itu belum berkekuatan hukum tetap (belum inkracht).
Menurut peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, keputusan tersebut adalah bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan cabang kekuasaan.
“Dalam institusi peradilan seharusnya Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung diposisikan sebagai ruang koreksi yuridis untuk menguji ketepatan pertimbangan hukum pengadilan yang berada di bawahnya. Jika aktor-aktor yang berkepentingan lebih memilih menunggu ‘ampunan politik’ daripada menempuh jalur hukum, fungsi korektif yudikatif akan menjadi tidak berarti,” tutur Wana, dikutip dari Suara.com pada Kamis (27/11/2025).
Penggunaan hak prerogatif oleh presiden seperti grasi, amnesti, rehabilitasi, atau abolisi, terutama tanpa standar transparansi dan akuntabilitas yang jelas, menurut ICW dapat mengaburkan hak-hak upaya hukum bagi publik dan terdakwa.
Selain itu, hal ini juga dapat melemahkan posisi lembaga yudikatif dalam menjaga keadilan.
Dalam sistem demokrasi, independensi lembaga peradilan adalah pilar penting.
Wana juga menyampaikan kritik tegasnya terkait pola penggunaan prerogatif presiden.
“Presiden Prabowo berhenti melakukan intervensi penegakan hukum berupa pemberian grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi,” tegas Wana.
Dengan kata sederhana, ketika kekuasaan eksekutif bisa mengulang-ulang putusan lewat intervensi, maka independensi peradilan dan efektivitas sistem hukum menjadi berisiko.
Hal ini penting dipahami karena keputusan seperti ini bukan hanya soal satu orang, tetapi soal kepercayaan publik terhadap keadilan di negeri ini.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah hak prerogatif presiden bisa digunakan tanpa batas yang jelas? Dan sejauh mana publik bisa memastikan bahwa keputusan tersebut tidak dipengaruhi kepentingan politik?