Grit Tanpa Dukungan, Karyawan Milenial Tergoda Berpindah Kerja

Hernawan | Rion Nofrianda
Grit Tanpa Dukungan, Karyawan Milenial Tergoda Berpindah Kerja
Ilustrasi karyawan milenial yang sedang bekerja di sebuah perusahaan (pexels/ fauxels)

Di tengah dinamika cepat dunia kerja masa kini, terutama di era pasca-pandemi dan kemajuan teknologi yang masif, muncul satu pertanyaan penting: bagaimana mempertahankan karyawan muda agar tetap berkomitmen dan berkembang dalam jalur kariernya?

Generasi milenial, yang lahir antara tahun 1980 hingga 2000, kini menjadi kekuatan dominan di berbagai industri. Mereka dikenal cekatan, adaptif, dan sangat akrab dengan teknologi. Namun, di sisi lain, mereka juga sering kali dianggap memiliki loyalitas yang rendah terhadap organisasi tempat mereka bekerja. Bukan tanpa alasan. Survei demi survei menunjukkan bahwa milenial memiliki kecenderungan untuk berpindah-pindah pekerjaan demi mencari kesempatan pengembangan karier yang lebih baik.

Salah satu temuan yang menguatkan fenomena ini datang dari Buletin Riset Psikologi dan Kesehatan Mental yang diterbitkan oleh Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Dalam edisi Desember 2024, Crisanti dan Adiati meneliti secara mendalam tentang hubungan antara grit, persepsi dukungan dari atasan (perceived supervisor support), dan komitmen karier pada karyawan milenial. Penelitian ini menghadirkan sudut pandang segar dan sangat relevan dalam menjawab tantangan pengelolaan SDM di era milenial.

Komitmen karier yang menjadi fokus penelitian ini bukan sekadar kesetiaan terhadap organisasi, melainkan bagaimana individu menunjukkan sikap dan tujuan yang konsisten terhadap perkembangan dirinya dalam pekerjaan. Ini sejalan dengan tren bahwa banyak karyawan muda saat ini lebih memikirkan "apa yang bisa aku capai dalam pekerjaan ini" dibandingkan "berapa lama aku bisa bertahan di organisasi ini".

Melalui studi terhadap 87 karyawan milenial berusia 24 hingga 35 tahun yang bekerja penuh waktu di berbagai organisasi, penelitian ini mengungkapkan adanya hubungan yang signifikan antara dua variabel utama grit dan persepsi dukungan supervisor dengan komitmen karier. Grit, atau ketekunan dan hasrat jangka panjang untuk meraih tujuan, menjadi salah satu kualitas personal yang sangat menentukan. Sementara itu, persepsi terhadap sejauh mana atasan memberikan dukungan emosional, instrumental, hingga pengakuan, juga memegang peranan vital.

Apa yang menjadikan temuan ini penting adalah fakta bahwa dua hal tersebut tidak berdiri sendiri. Ketika seorang karyawan milenial memiliki grit yang kuat, tetapi tidak merasakan dukungan dari atasannya, komitmen karier mereka bisa goyah. Sebaliknya, seberapa pun besarnya dukungan dari atasan, bila karyawan tersebut tidak memiliki keteguhan dalam mengejar tujuan jangka panjangnya, maka komitmennya juga tidak akan maksimal. Dengan kata lain, keberhasilan organisasi dalam mempertahankan karyawan muda sangat bergantung pada kemampuan mereka mengelola dua aspek ini secara simultan: internal (personal) dan eksternal (kontekstual).

Milenial adalah generasi yang tumbuh di tengah kebebasan informasi dan peluang tak terbatas. Mereka terbiasa dengan pilihan dan sangat menghargai fleksibilitas. Mereka tidak hanya ingin bekerja; mereka ingin berkembang, merasa dihargai, dan memiliki kontrol atas arah karier mereka. Ketika organisasi gagal menyediakan ruang untuk kebutuhan-kebutuhan ini, bukan hal aneh jika mereka memilih untuk hengkang, meskipun gaji dan fasilitas tergolong memadai.

Lebih jauh, laporan EY Indonesia (2023) mencatat bahwa 46% pekerja Indonesia berpotensi besar keluar dari pekerjaannya dalam 12 bulan ke depan. Alasan utamanya? Kesejahteraan yang lebih baik, kompensasi yang lebih menarik, dan peluang karier yang lebih menjanjikan. Dalam bahasa yang lebih sederhana: mereka ingin lebih dihargai, lebih diberi kesempatan, dan lebih didengarkan.

Kembali ke temuan penelitian Universitas Airlangga, kita bisa menarik benang merah penting: organisasi harus menyadari bahwa grit adalah bahan bakar internal karyawan, sedangkan dukungan supervisor adalah katalisator eksternal. Keduanya tidak bisa dipisahkan dalam upaya mempertahankan dan menumbuhkan komitmen karier karyawan muda. Maka, jika perusahaan ingin mempertahankan talenta milenial yang berharga, strategi HR mereka tidak bisa lagi sebatas program insentif atau pelatihan teknis. Mereka perlu masuk lebih dalam ke ranah psikologis dan relasional.

Pengembangan grit misalnya, bukan sekadar hasil seleksi ketat atau rekrutmen dari universitas ternama. Ini adalah proses pembentukan karakter yang bisa dibina dalam lingkungan kerja. Organisasi bisa menciptakan program mentoring, coaching, serta memberikan tantangan yang progresif kepada karyawan muda, agar mereka belajar menghadapi kegagalan dan tetap berorientasi pada tujuan jangka panjang.

Di saat yang sama, para supervisor harus dilatih untuk tidak hanya menjadi pemimpin teknis, tetapi juga pemimpin yang suportif secara emosional. Karyawan muda butuh bimbingan, bukan hanya perintah. Mereka ingin merasa bahwa apa yang mereka lakukan berarti, bahwa ada seseorang di atas mereka yang peduli dan siap membantu saat dibutuhkan.

Dukungan supervisor bisa berbentuk sederhana namun berdampak besar. Apresiasi atas kerja keras, pengakuan atas kontribusi, hingga keterlibatan dalam diskusi pengembangan karier adalah contoh nyata. Supervisor yang sekadar hadir sebagai penilai kinerja tidak akan cukup. Mereka perlu hadir sebagai partner dalam perjalanan karier karyawan.

Menariknya, dalam banyak diskusi manajemen SDM, istilah employee engagement kerap disebut sebagai indikator utama retensi. Namun penelitian ini mengajak kita untuk melihat satu langkah lebih dalam: bahwa di balik keterlibatan kerja, ada komitmen karier yang lebih personal dan jangka panjang. Ini yang sering kali terlewat oleh organisasi. Kita terlalu fokus pada retensi jangka pendek, padahal kunci sebenarnya adalah bagaimana individu merasa pekerjaannya sejalan dengan cita-cita hidupnya.

Kolom ini bukan sekadar menyampaikan hasil sebuah penelitian, tetapi juga seruan bagi para pemimpin organisasi: sudahkah Anda menciptakan ruang bagi tumbuhnya grit dan dukungan yang otentik bagi anak-anak muda yang bekerja bersama Anda? Jangan salahkan milenial jika mereka cepat pindah kerja, jika sejak awal Anda tidak memberikan mereka alasan untuk bertahan.

Di masa depan, ketika generasi Z mulai masuk secara penuh ke dunia kerja, tantangan ini akan semakin kompleks. Tetapi satu hal pasti, manusia tetap manusia: mereka ingin didengar, dihargai, dan diberi ruang untuk tumbuh. Maka, mari kita mulai dari sekarang, dengan memupuk ketekunan dan semangat dalam diri karyawan muda, sambil memastikan bahwa para pemimpin mereka tidak hanya hadir sebagai atasan, tetapi juga sebagai manusia yang memanusiakan.

Organisasi yang mampu membaca kebutuhan psikologis generasi milenial dengan tepat akan memenangkan pertarungan jangka panjang. Bukan hanya dalam mempertahankan talenta, tapi juga dalam membangun budaya kerja yang sehat, berkelanjutan, dan penuh makna. Pada akhirnya, loyalitas bukanlah sesuatu yang bisa dibeli dengan gaji besar atau fasilitas mewah tetapi dibangun lewat relasi, kepercayaan, dan nilai yang saling terhubung. Dan semuanya berawal dari grit serta seorang atasan yang peduli.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak