Gema Dewantara Menyuarakan Politik Bangsa dalam Jiwa Pendidikan

Hernawan | Sherly Azizah
Gema Dewantara Menyuarakan Politik Bangsa dalam Jiwa Pendidikan
Ki Hadjar Dewantara sedang berpidato dalam Sidang Rapat Besar VIII (Circa 1950) — (Koleksi istimewa Museum Dewantara Kirti Griya)

Ki Hadjar Dewantara, sang pelopor pendidikan nasional, telah mewariskan gema perjuangan yang tak hanya bergaung di ranah pendidikan, tetapi juga dalam politik bangsa. Melalui Taman Siswa dan kiprahnya di Indische Partij, ia menyuarakan kemerdekaan yang berpijak pada jati diri bangsa. Politik baginya bukan sekadar alat kekuasaan, melainkan sarana untuk memerdekakan jiwa rakyat melalui pendidikan.

Di tengah Indonesia modern yang dirundung polarisasi, korupsi, dan apatisme politik, gema perjuangan Ki Hadjar Dewantara terasa kian relevan. Refleksi atas perjuangannya mengajak kita menelusuri bagaimana pendidikan dapat menjadi ruh politik bangsa, sekaligus menyoroti urgensi menghidupkan kembali semangatnya di era demokrasi yang penuh gejolak ini.

Perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara berakar pada visinya tentang kemerdekaan yang holistik. Ia menentang pendidikan kolonial yang mencabut identitas budaya, seraya memperjuangkan kesetaraan melalui tulisan-tulisan kritis di De Express dan organisasi seperti Boedi Oetomo.

Dalam pandangannya, pendidikan adalah alat untuk membangkitkan kesadaran politik rakyat. Namun, Indonesia kini dihadapkan pada krisis politik yang ditandai oleh rendahnya literasi politik, maraknya politik identitas, dan korupsi yang menggerogoti kepercayaan publik. Gema Dewantara, yang menekankan pendidikan sebagai fondasi politik yang bermartabat, tampaknya teredam di tengah hiruk-pikuk pragmatisme politik. Refleksi ini menegaskan perlunya mengembalikan pendidikan sebagai ruh politik untuk mengatasi akar masalah demokrasi saat ini.

Konsep "among" yang digagas Ki Hadjar Deawantara menempatkan pendidikan sebagai proses pencerahan jiwa, bukan sekadar transfer pengetahuan. Dalam politik, pendekatan ini tercermin dari upayanya membangun kesadaran kritis masyarakat untuk melawan ketidakadilan, sebagaimana terlihat saat ia diasingkan ke Belanda.

Namun, pendidikan politik di Indonesia kini masih terjebak pada slogan-slogan kampanye dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang hak demokrasi. Akar masalah ini terletak pada minimnya pendidikan kewarganegaraan yang membumi, yang mampu membentuk warga negara yang kritis dan bertanggung jawab. Gema perjuangan Ki Hadjar mengingatkan bahwa pendidikan harus menjadi jiwa politik bangsa, dan revitalisasi pendidikan politik menjadi langkah mendesak untuk memperkuat demokrasi.

Inklusivitas adalah salah satu pilar politik Ki Hadjar Dewantara yang kini kian krusial. Ia memandang bangsa Indonesia sebagai harmoni budaya yang disatukan melalui pendidikan dan dialog, bukan melalui konflik atau dominasi.

Di era modern, polarisasi berbasis agama, etnis, dan ideologi telah mengoyak kebersamaan bangsa, diperparah oleh penyalahgunaan media sosial yang memicu perpecahan. Gema Dewantara, yang menyerukan politik berbasis kemanusiaan, mengajak kita untuk menjadikan pendidikan sebagai jembatan menuju persatuan. Dengan menghidupkan kembali nilai inklusivitas dalam pendidikan politik, bangsa ini dapat merajut kembali kohesi sosial yang terkoyak, menjadikan politik sebagai sarana kesejahteraan bersama.

Rendahnya partisipasi masyarakat dalam politik substantif menjadi tantangan lain yang mencerminkan pudarnya gema Ki Hadjar Dewantara. Melalui Taman Siswa, ia mengajarkan bahwa setiap individu memiliki peran dalam membangun bangsa, baik melalui pendidikan maupun aksi politik. Namun, kini banyak warga yang apatis, memandang politik sebagai ranah yang jauh dan tercemar.

Ketidakpercayaan terhadap institusi politik dan kurangnya pendidikan politik yang efektif memperburuk situasi ini. Gema perjuangan Ki Hadjar Dewantara menyerukan agar politik dikembalikan ke akarnya: pengabdian kepada rakyat. Pendidikan politik berbasis komunitas, yang menanamkan kesadaran akan peran warga negara, dapat menjadi solusi untuk membangkitkan partisipasi aktif masyarakat.

Gema Ki Hadjar Dewantara menawarkan harapan di tengah kompleksitas politik kontemporer. Nilai-nilai yang ia wariskan—pendidikan sebagai pencerahan, inklusivitas, dan kesadaran kritis—dapat menjadi panduan untuk memperbaiki demokrasi Indonesia. Pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil perlu bersinergi untuk menghidupkan kembali semangat Dewantara dalam pendidikan politik. Langkah konkret seperti penguatan pendidikan kewarganegaraan yang berbasis praktik demokrasi lokal, serta dialog lintas budaya untuk meredam polarisasi, dapat menjadi wujud nyata dari gema ini. Dengan demikian, perjuangan Ki Hadjar tidak hanya menjadi kenangan, tetapi juga nyala yang terus membimbing bangsa.

Gema Ki Hadjar Dewantara mengajak kita untuk menjadikan pendidikan sebagai jiwa politik bangsa. Di tengah tantangan demokrasi yang kian pelik, nilai-nilai yang ia tanamkan menjadi lentera yang menerangi jalan menuju keadilan dan kebersamaan. Marilah kita menghidupkan kembali gema ini dengan menanamkan pendidikan politik yang memerdekakan, inklusif, dan kritis di setiap lapisan masyarakat. Dengan begitu, Indonesia dapat melangkah teguh menuju cita-cita kemerdekaan yang utuh, di mana politik bukan lagi sekadar perebutan kekuasaan, tetapi cerminan jiwa bangsa yang tercerahkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak