Orang Tua dan Guru: Dua Pilar Pendidikan yang Sering Tak Searah

Hayuning Ratri Hapsari | Rial Roja Saputra
Orang Tua dan Guru: Dua Pilar Pendidikan yang Sering Tak Searah
Ilustrasi guru mengajar di kelas. (Pixabay/akshayapatra)

Jika dipikir-pikir, pendidikan itu seperti rumah. Sama seperti rumah yang kuat membutuhkan dua pilar utama agar berdiri tegak orang tua dan guru kedua figur ini memainkan peran penting dalam membentuk karakter dan masa depan anak.

Namun, anehnya, kedua pilar ini sering kali tidak bekerja sama. Alih-alih saling mendukung, terkadang keduanya menarik ke arah yang berlawanan  guru di sebelah kiri, orang tua di sebelah kanan

Hasilnya? Anak-anak menjadi bingung. Di rumah, mereka diajarkan satu set nilai, sementara di sekolah, sesuatu yang lain terjadi. Alih-alih belajar menjadi lebih solid, mereka merasa tidak yakin tentang siapa yang harus diikuti.

Di sinilah kita perlu berkumpul dan membahas mengapa kedua pilar pendidikan ini sering kali tidak selaras, dan apa yang dapat kita ubah untuk memastikan keduanya bekerja secara harmonis dan tidak bertentangan satu sama lain.

Ekspektasi Orang Tua yang (Kadang) Terlalu Tinggi

Harapan sering kali menimbulkan masalah. Banyak orangtua yang berharap sekolah dapat mengubah anak-anak mereka menjadi jenius dalam semalam.

Mereka ingin anak-anak mereka menjadi juara kelas, memenangkan berbagai perlombaan, aktif tetapi sopan, dan pintar tanpa merasa tertekan. Semua tekanan ini jatuh pada guru. Namun, guru juga manusia.

Mereka bukanlah pesulap, dan mereka juga tidak dapat menggantikan peran orang tua. Seringkali, guru menjadi kambing hitam ketika anak-anak tidak memenuhi 'standar' yang ditetapkan oleh keluarga mereka. Nilai jelek? Guru disalahkan.

Kurang disiplin? Guru juga salah. Pada kenyataannya, pendidikan karakter dimulai dari rumah. Meskipun guru memegang peranan penting, mereka bukanlah satu-satunya sumber nilai dan pengetahuan.

Guru yang Terjebak Sistem dan Kurikulum

Di sisi lain, guru terkadang terjebak dalam sistem yang kaku. Dengan kurikulum yang padat, banyaknya target administratif, dan tuntutan dari sekolah, mereka sering lupa bahwa setiap anak itu unik dan tidak dapat diperlakukan sama.

Akibatnya, pendekatan yang digunakan cenderung terlalu teknis dan formal. Guru lebih fokus pada penyelesaian silabus daripada membangun hubungan yang tulus dengan anak-anak atau orang tua mereka.

Akibatnya, komunikasi menjadi dingin, dan pertemuan orang tua-guru berubah menjadi sekadar formalitas setiap semester alih-alih kolaborasi aktif untuk mendukung perkembangan anak secara keseluruhan.

Anak Butuh “Tim Solid”, Bukan Dua Nahkoda yang Arahannya Beda

Dalam dunia sepak bola, anak-anak adalah pemainnya, sedangkan orang tua dan guru berperan sebagai pelatih. Bagaimana mungkin seorang anak bisa mencetak gol jika para pelatihnya malah berdebat soal strategi? Anak-anak butuh konsistensi. Nilai-nilai yang diajarkan di rumah harus selaras dengan yang diajarkan di sekolah.

Jika di rumah mereka didorong untuk mengemukakan pendapat, tetapi di sekolah mereka diminta untuk diam dan patuh, itu hanya akan membingungkan mereka. Yang benar-benar dibutuhkan adalah komunikasi yang berkelanjutan, bukan hanya saat masalah muncul.

Guru dan orang tua harus memiliki grup obrolan yang tidak hanya sekadar berbagi tugas pekerjaan rumah atau jadwal ujian; grup obrolan itu harus menjadi ruang untuk bertukar ide, cerita, dan wawasan tentang perkembangan anak.

Perlu Pergeseran Pola Pikir: Dari Mengawasi ke Menemani

Hal yang menarik dari tren pendidikan saat ini adalah munculnya pendekatan yang lebih humanis yang berfokus pada anak sebagai individu, bukan sekadar produk. Namun, pendekatan ini tidak akan berhasil jika guru dan orang tua berpegang teguh pada pola pikir lama bahwa nilai tinggi sama dengan kesuksesan.

Diperlukan perubahan paradigma. Orang tua tidak boleh hanya menjadi pengawas yang memantau rapor, dan guru tidak boleh hanya menjadi evaluator. Keduanya harus bertindak sebagai pendamping dalam perjalanan belajar anak mereka, berbagi tanggung jawab atas prosesnya, bukan hanya hasilnya.

Ketika guru mulai memandang orang tua sebagai mitra, bukan sekadar wali, dan ketika orang tua melihat guru sebagai kolaborator, bukan penyedia layanan, kecocokan sejati dapat benar-benar berkembang.

Kesimpulan: Butuh Keberanian untuk Berubah dan Saling Mendekat

Membesarkan anak bukanlah kompetisi melainkan kerja sama. Orang tua dan guru harus lebih terbuka, tidak hanya menuntut, tetapi juga bersedia mendengarkan. Kita membutuhkan lebih banyak kesempatan untuk mengadakan pertemuan, berdiskusi, dan membangun kepercayaan.

Membangun komunikasi yang sehat antara rumah dan sekolah adalah langkah awal untuk memastikan bahwa anak-anak tidak tumbuh dalam kebingungan, tetapi merasa aman karena mengetahui bahwa dua pengaruh terdekat dalam hidup mereka hidup dalam harmoni.

Mungkin sudah saatnya untuk mengalihkan pertanyaan kita dari 'Mengapa anak saya seperti ini?' menjadi 'Apa yang dapat saya dan guru saya lakukan bersama untuk mendukung pertumbuhan anak saya yang sehat?'

Pada akhirnya, ini bukan tentang siapa yang lebih tahu, tetapi tentang siapa yang lebih peduli dan bersedia bekerja sama. Pendidikan yang baik bukan hanya soal isi kepala, tapi juga soal hati yang kompak dan langkah yang seirama.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak