Ulasan Novel The Art of a Lie: Saat Politik dan Kejahatan Menari Bersama

Ayu Nabila | Rial Roja Saputra
Ulasan Novel The Art of a Lie: Saat Politik dan Kejahatan Menari Bersama
Cover Novel The Art of a Lie. (goodreads.com)

Di era digital yang riuh ini, panggung politik sering kali terasa seperti sebuah pertunjukan ilusi yang megah. Kita disuguhi citra yang dipoles, janji-janji yang melambung, dan narasi yang dirancang dengan saksama hingga sulit membedakan mana realitas dan mana rekayasa. Novel thriller terbaru, The Art of a Lie, mengambil perasaan gelisah ini dan meraciknya menjadi sebuah cerita yang mencekam dan luar biasa relevan. Buku ini menyeret kita ke balik tirai panggung demokrasi, ke sebuah ruang gelap tempat strategi politik dan konspirasi kejahatan tidak lagi bisa dibedakan. Keduanya menari bersama dalam sebuah tarian maut yang mengancam untuk meruntuhkan segalanya.

Di Balik Panggung Demokrasi: Dari Spin Doctor ke Sutradara Kejahatan

Novel ini memperkenalkan kita pada Maya Sari, seorang ahli strategi kampanye yang brilian namun sinis, yang dunianya jungkir balik ketika mentornya, seorang jurnalis investigasi senior, ditemukan tewas dalam kondisi yang dicap sebagai bunuh diri. Kematian itu terjadi tepat sebelum sang jurnalis hendak mempublikasikan temuannya tentang politisi populis yang sedang naik daun, Arion Baskoro. Maya yang tidak percaya dengan narasi resmi mulai menggali lebih dalam dan menemukan sebuah kebenaran yang mengerikan.

Kenaikan Arion ke puncak kekuasaan bukanlah hasil dari kerja politik biasa, melainkan sebuah opera besar yang disutradarai dengan cermat. Buku ini dengan cerdas menggeser konsep spin doctor atau juru poles citra menjadi seorang sutradara kejahatan. Tim di belakang Arion tidak hanya memutarbalikkan fakta, mereka menciptakan fakta itu sendiri. Mereka merekayasa skandal, mengorganisir gerakan massa palsu, dan memperlakukan negara seperti sebuah set film raksasa.

Kebohongan sebagai Senjata Pemusnah Massal

Inilah ide segar yang menjadi jantung dari The Art of a Lie. Kebohongan yang dimaksud dalam judulnya bukanlah kebohongan verbal yang sederhana. Novel ini menggambarkan sebuah ekosistem disinformasi yang canggih dan berlapis, sebuah senjata pemusnah massal yang ditujukan langsung pada akal sehat publik. Penulisnya dengan gamblang melukiskan penggunaan teknologi deepfake untuk menciptakan video palsu yang menjatuhkan lawan, pengerahan pasukan bot untuk menciptakan ilusi dukungan publik yang masif, hingga pemanfaatan data psikologis untuk menyebarkan hoaks yang paling efektif bagi segmen demografi tertentu.

Kebohongan tidak lagi menjadi alat, tetapi menjadi senjata utama. Novel ini berargumen bahwa kejahatan terbesar di era modern mungkin bukanlah perampokan bank atau pembunuhan, melainkan pembunuhan terhadap kebenaran itu sendiri, yang jika berhasil, akan melumpuhkan seluruh sendi demokrasi.

Maya Sari, Pahlawan yang Enggan di Era Pasca-Kebenaran

Keunggulan lain dari novel ini adalah penggambaran tokoh utamanya. Maya Sari bukanlah pahlawan tanpa cela yang memperjuangkan kebenaran mutlak. Ia adalah produk dari sistem yang coba ia lawan. Sebagai mantan ahli strategi, ia paham betul cara kerja mesin propaganda karena ia pernah menjadi salah satu operatornya. Hal ini membuatnya menjadi pahlawan yang sangat relevan untuk era pasca-kebenaran.

Perjuangannya bukan hanya melawan musuh di luar, tetapi juga melawan sinisme dan sisa-sisa moralitasnya sendiri di dalam. Ia harus menggunakan pengetahuannya tentang dunia gelap itu untuk melawannya, memaksanya berjalan di atas garis tipis antara mengungkap kebenaran dan menjadi monster yang sama dengan yang ia buru. Kerentanannya inilah yang justru membuatnya menjadi karakter yang kuat dan memikat.

Moral Abu-abu di Jantung Kekuasaan

Pada akhirnya, The Art of a Lie menolak untuk memberikan jawaban hitam putih yang memuaskan. Novel ini adalah sebuah eksplorasi brilian tentang wilayah abu-abu di jantung kekuasaan. Tanpa membocorkan terlalu banyak, dalang di balik semua kekacauan ini ternyata memiliki motif yang lebih kompleks daripada sekadar uang atau kekuasaan, sebuah keyakinan bengkok bahwa stabilitas negara hanya bisa dicapai melalui kendali informasi total. Buku ini meninggalkan pembaca dengan pertanyaan yang mengganggu. Apakah kebohongan yang teratur lebih baik daripada kebenaran yang anarkis? Di manakah batas antara manuver politik yang cerdik dan konspirasi kriminal? Novel ini tidak memberikan jawaban mudah, justru memaksa kita untuk merenungkan betapa rapuhnya batas-batas tersebut dalam realitas kita sendiri.

Secara keseluruhan, The Art of a Lie adalah sebuah page-turner yang tidak hanya membuat jantung berdebar kencang, tetapi juga memantik kerja otak. Ia adalah sebuah komentar sosial tajam yang dibungkus dalam selubung thriller politik yang menghibur. Ini adalah bacaan esensial bagi siapa saja yang pernah menatap panggung politik dan bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi di baliknya? Novel ini memberikan jawaban fiksional yang terasa begitu nyata dan menakutkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak