Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, Generasi Z menemukan pelarian dalam bisikan lembut dan ketukan pelan video ASMR di YouTube. Suara gesekan kuas, derit kertas, atau bahkan napas pelan dari seorang kreator mampu menyelimuti jiwa mereka yang resah, menawarkan oase relaksasi di lautan stres dan insomnia.
ASMR, atau Autonomous Sensory Meridian Response, bukan sekadar tren, melainkan ritual modern yang memikat hati Gen Z. Layar menjadi jendela menuju ketenangan, setiap desis terasa seperti pelukan tak kasatmata. Mengapa format ini begitu memukau? Bagaimana ia memengaruhi kesehatan mental? Dan, adakah bayang-bayang risiko di balik pesonanya?
Keajaiban ASMR terletak pada kemampuannya memicu sensasi unik—seperti gelombang hangat yang mengalir di kepala dan tulang belakang—yang oleh banyak orang digambarkan sebagai “merinding nikmat”.
Dalam studi berjudul Autonomous Sensory Meridian Response (ASMR): A flow-like mental state, Barratt dan Davis (2015) menemukan bahwa ASMR dapat menciptakan kondisi mental mirip aliran (flow), yang ditandai dengan relaksasi mendalam dan pengurangan stres.
Penelitian ini, yang dilakukan melalui survei terhadap pengguna ASMR, menunjukkan bahwa mayoritas responden merasakan ketenangan dan bahkan peningkatan suasana hati setelah menonton video ASMR. Temuan ini memperkuat gagasan bahwa ASMR bukan sekadar hiburan, tetapi alat yang ampuh untuk meredakan kegelisahan Gen Z.
Apa yang membuat ASMR begitu menarik bagi Gen Z? Jawabannya ada pada paradoks kehidupan modern: di tengah banjir informasi dan tekanan akademik, sosial, serta finansial, mereka merindukan ketenangan yang sederhana.
ASMR menawarkan pengalaman sensorik yang intim, hampir seperti bisikan ibu di masa kecil, tanpa perlu interaksi sosial yang melelahkan.
Estetika video—dari pengaturan cahaya lembut hingga gerakan tangan yang penuh perhatian—menciptakan ilusi kedekatan emosional. Ditambah lagi, keberagaman konten ASMR, mulai dari simulasi dokter mata hingga permainan peran kafe, memungkinkan Gen Z memilih “dosis” relaksasi yang sesuai dengan selera mereka.
Dampak ASMR pada kesehatan mental Gen Z tak bisa dianggap remeh. Di era kecemasan dan insomnia menjadi teman sehari-hari, video ASMR menjadi semacam terapi mandiri yang mudah diakses.
Sensasi relaksasi yang dipicu membantu menurunkan detak jantung dan meredakan ketegangan otot, membuat tidur yang sulit diraih menjadi lebih mudah didekap.
Lebih dari itu, ASMR menciptakan ruang aman di mana Gen Z bisa menyingkir sejenak dari dunia yang menuntut mereka untuk selalu “hidup”. Dengan hanya sepasang earphone dan layar ponsel, mereka bisa melarikan diri ke dunia setiap ketukan adalah undangan untuk bernapas lebih dalam.
Namun, di balik pesona ASMR, ada bayang-bayang risiko ketergantungan yang mengintai. Ketika relaksasi hanya bisa diraih melalui bisikan orang asing di layar, Gen Z mungkin terjebak dalam lingkaran bahwa mereka kehilangan kemampuan untuk menenangkan diri secara alami.
Barratt dan Davis (2015) mencatat bahwa beberapa pengguna melaporkan kebutuhan untuk menonton ASMR secara rutin agar tetap rileks, sebuah pola yang menyerupai ketergantungan ringan.
Ironis, bukan, ketika solusi untuk stres justru bisa menjadi candu baru? Belum lagi, waktu yang dihabiskan untuk menonton video panjang ini bisa menggerus jam produktif, membuat Gen Z terperangkap dalam siklus “relaksasi yang malas”.
Tantangan lain muncul dari sifat platform itu sendiri. YouTube, rumah utama ASMR, adalah labirin distraksi yang penuh dengan iklan dan rekomendasi video tak relevan. Satu klik salah bisa membawa Gen Z dari ketenangan ASMR ke pusaran drama selebritas atau teori konspirasi.
Selain itu, tidak semua orang merasakan efek ASMR; bagi sebagian, suara-suara ini justru mengganggu atau memicu rasa tidak nyaman. Gen Z juga harus waspada terhadap konten ASMR yang kurang autentik, kreator lebih fokus pada keuntungan daripada kualitas, mengubah pengalaman intim menjadi komoditas semata.
ASMR adalah cerminan jiwa Gen Z: kreatif, rentan, dan selalu mencari cara untuk menyeimbangkan dunia yang kacau. Seperti desir angin di malam yang sunyi, ASMR mengajarkan bahwa ketenangan bisa ditemukan di tempat yang tak terduga.
Namun, Gen Z diajak untuk bijak: nikmati bisikan layar sebagai pelengkap, bukan pengganti, dari upaya menjaga kesehatan mental. Jadi, lain kali stres menggenggam erat, colokkan earphone, dengarkan ketukan lembut itu, dan ingat—jiwa yang tenang adalah simfoni yang kamu ciptakan sendiri. Ayo, Gen Z, temukan harmoni di tengah badai!
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS