Kosakata ”viral” telah menjadi istilah yang lazim dipakai untuk mendefinisikan era digital sekarang ini. Betapa tidak! Dalam hitungan detik saja, sebuah konten dapat tersiar dan tersebar luas ke seluruh penjuru dunia. Bahkan, konten tersebut mampu membentuk tren dan memengaruhi cara pandang jutaan manusia.
Sementara itu, di tengah gelombang aneka konten yang datang dan pergi silih berganti, terdapat sesuatu yang ”vital”, yang sangat bernilai dan harus tetap dipertahankan, yakni jiwa nasionalisme.
Paradoks tengah melanda dunia pendidikan nasional. Hal ini merupakan tantangan bagi kita untuk dapat mengintegrasikan kekinian teknologi digital yang serba cepat dan praktis dengan nilai-nilai jati diri bangsa.
Menjembatani kesenjangan
Tak dapat dimungkiri, era digital telah mengubah lanskap pendidikan di Indonesia secara signifikan. Kemudahan mengakses informasi telah menciptakan paradigma baru dalam proses belajar mengajar.
Guru yang dulu menjadi sumber utama pengetahuan, kini tidak lagi menjadi tempat bergantung sepenuhnya bagi para siswa. Terbentuknya platform pembelajaran digital seperti Ruangguru, Zenius, dan Google Classroom, tak pelak, telah menjadi bagian integral dalam proses pendidikan.
Namun demikian, kemudahan mengakses informasi di era digital ini menimbulkan tantangan tersendiri, berupa penyebaran informasi yang tak terverifikasi atau hoaks, yang menjadi ancaman serius bagi proses belajar mengajar.
Hoaks ini dapat memberikan pengaruh negatif pada para siswa dalam cara pandang mereka terhadap sejumlah isu. Termasuk di dalamnya cara pandang tentang nasionalisme.
Isu nasionalisme di era digital telah mengalami apa yang disebut sebagai redefinisi. Generasi digital memiliki cara pandang yang berbeda perihal identitas nasional.
Berbagai media sosial dan platform digital, telah menciptakan ruang virtual yang tak mengenal batas geografis, sehingga generasi muda dapat berinteraksi tanpa batas dengan aneka budaya di pentas global.
Dengan demikian, tidaklah mengherankan jika ruang virtual tanpa batas ini telah menciptakan gelombang K-Pop yang disukai remaja Indonesia.
Di satu sisi, ini menandakan adanya keterbukaan dan adaptasi dalam globalisasi; tetapi di sisi lain, hal ini dapat mengakibatkan lunturnya apresiasi anak bangsa terhadap budaya lokal dan nilai-nilai luhur nasionalisme.
Penulis juga ikut menyaksikan adanya fenomena yang memprihatinkan dalam kaitan dengan budaya dan jiwa nasionalisme di era digital ini. Dalam acara pelepasan di sebuah Sekolah Dasar, diperagakan tarian gemulai yang dibawakan oleh seorang siswa laki-laki dengan iringan musik jedag-jedug.
Sesuatu yang tak layak dijadikan teladan ini justru dinikmati oleh seluruh siswa beserta para guru yang memberikan tepuk tangan. Ini hanya merupakan tindakan asal viral saja, tanpa memperhatikan dampak negatif bagi generasi muda yang tengah mencari jati diri.
Akan tetapi, ada juga hal-hal yang membanggakan dalam kaitan dengan identitas kebangsaan Indonesia.
Ketika ditayangkan video anak-anak Sekolah Menengah di Korea Utara menyanyikan lagu ”Halo-Halo Bandung” dengan fasih dan ditonton banyak khalayak, penulis jadi terenyuh.
Mengapa? Karena di negeri sendiri, pelajaran sejarah perjuangan para pahlawan dianggap sebagai subjek yang membosankan oleh para siswa, sementara warga asing mampu menghargai perjuangan para pahlawan lewat lagu.
Melihat fakta ini, kita dihadapkan pada pertanyaan yang mendasar: bagaimana cara kita menjembatani antara yang viral dan yang vital dalam konteks pendidikan nasionalisme? Hal ini merupakan tantangan yang makin kompleks, karena platform digital seperti TikTok, Instagram, dan YouTube telah mengambil alih peran para pendidik anak bangsa.
Mereka telah bertransformasi menjadi ”guru” nonformal bagi generasi muda. Tak pelak, platform digital ini telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap identitas kebangsaan.
Sejumlah gagasan dan masukan
Perkenankanlah penulis pada kesempatan ini untuk memberikan sejumlah gagasan dan masukan yang dapat dijadikan jembatan untuk mengatasi kesenjangan yang terjadi dalam pendidikan nasionalisme di negeri tercinta ini.
Gagasan pertama, berupa upaya mengemas momen-momen yang sangat penting dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam format Reel dan TikTok. Di sini kita dapat menampilkan fakta yang menarik di balik peristiwa sejarah.
Misalnya saja, peristiwa penculikan Rengasdengklok. Mengapa peristiwa itu terjadi dan siapa penggagasnya. Semuanya disampaikan dalam tampilan video yang menarik dan narasi yang bersifat kekinian.
Gagasan kedua, terkait dengan penyelenggaraan tantangan atau tren edukatif yang menarik para kawula muda. Kegiatan ini dapat berupa acara merekonstruksi foto para pahlawan nasional dan pembacaan naskah proklamasi dengan gaya dan tampilan kreatif.
Acara seperti ini dapat menggugah kreativitas para siswa sekaligus membangun identitas bangsa Indonesia yang mampu menghargai jasa para pahlawan bangsa.
Gagasan ketiga, terkait dengan dengan digitalisasi sejarah Indonesia. Upaya ini berwujud pembangunan museum virtual sejarah Indonesia. Melalui upaya ini, diharapkan para generasi muda Indonesia dapat mempelajari sejarah Indonesia secara interaktif.
Gagasan keempat, berupa pengembangan konten digital dalam wujud game edukatif yang mengintegrasikan sejarah dan budaya Indonesia. Melalui upaya ini, generasi muda diharapkan dapat dipupuk karakternya untuk lebih menghargai dan mencintai identitas bangsa sendiri.
Gagasan kelima, berupa pemanfaatan media sosial secara optimal. Media sosial dapat digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai nasionalisme secara efektif. Dapat diwujudkan dalam bentuk gerakan literasi digital yang mengajarkan cara-cara menggunakan media sosial secara santun dan bertanggung jawab.
Kini kita tiba pada pembahasan gagasan keenam, gagasan pemungkas yang sangat penting peranannya, yakni pemberdayaan para guru sebagai pilar utama dalam pendidikan.
Guru harus mampu menjadi fasilitator pembelajaran digital yang mumpuni. Sejumlah program penting dapat dilakukan untuk mewujudkan upaya ini, antara lain berupa pelatihan kompetensi digital untuk para guru, sehingga tak ada lagi stigma ”gaptek” pada guru.
Memaknai ulang nasionalisme
Berdasarkan fakta dan tantangan yang telah penulis paparkan, kita melihat adanya kepentingan yang mendesak perihal memaknai ulang nasionalisme dalam konteks pendidikan digital.
Di masa sekarang, kita tak bisa lagi mendefinisikan nasionalisme sebagai sekadar rasa cinta kepada tanah air yang diekspresikan melalui upacara bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Kita perlu memaknai nasionalisme di era digital ini sebagai kesadaran aktif untuk membuat kontribusi dalam ruang digital yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Menurut hemat penulis, pendidikan nasionalisme itu bukanlah sekadar upaya mengadaptasi teknologi dalam proses belajar mengajar, melainkan perihal menciptakan keseimbangan antara kecepatan informasi digital dan kedalaman nilai-nilai kebangsaan yang kita anut.
Ketika konten yang viral itu menghilang secepat kemunculannya, nilai-nilai vital kebangsaan harus tetap kukuh tertanam sebagai fondasi identitas bangsa.
Akhir kata, penulis berharap agar melalui kerja sama yang baik dengan semua pihak yang terkait, kita tidak hanya sekadar membangun nasionalisme sebagai trending topic yang bersifat sesaat, tetapi juga menjaga agar nilai-nilai fundamentalnya tertanam dan mengakar dalam jiwa setiap generasi penerus bangsa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS