Tanggal 1 Juni kita peringati sebagai Hari Kelahiran Pancasila—sebuah peristiwa penting yang membukakan ingatan kita terhadap nilai-nilai ideologi negara yang menjadi jiwa kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila bukan hanya sekadar simbol yang terpajang di dinding kantor-kantor pemerintahan, melainkan sebuah ideologi hidup yang perlu terus kita maknai dan terapkan dalam keseharian kita.
Hari peringatan ini mengajak kita untuk merenungkan seberapa jauh nilai-nilai Pancasila telah menjadi pedoman dalam cara kita bersikap dan bertindak di tengah berbagai tantangan zaman yang kompleks.
Tantangan arus globalisasi
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, tantangan bagi keberadaan Pancasila makin rumit. Pengaruh nilai-nilai asing yang kadang tidak sejalan dengan karakter bangsa kita, meluasnya paham radikalisme dan separatisme melalui media sosial, serta menurunnya semangat kebangsaan di kalangan generasi muda, menjadi ancaman nyata bagi keutuhan NKRI.
Di samping itu, disinformasi dan polarisasi politik yang marak di media sosial, juga dapat mengikis semangat persatuan dan kesatuan bangsa, yang merupakan inti dari Pancasila.
Penerapan nilai-nilai Pancasila adalah suatu keharusan agar tetap relevan sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan dan penyelesaian masalah kebangsaan.
Pancasila seharusnya dipahami sebagai ideologi yang terbuka dan dinamis, mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman tanpa harus meninggalkan identitas aslinya.
Pada hakikatnya, Pancasila itu terdiri dari tiga lapisan nilai, yakni nilai dasar yang bersifat abstrak dan tetap, nilai instrumental yang kontekstual, dan nilai praksis yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi global saat ini menuntut kita untuk menyadari bahwa penerapan Pancasila tidak bisa berhenti atau stagnan. Kemajuan teknologi komunikasi telah menciptakan masyarakat tanpa batas yang memungkinkan masuknya berbagai nilai asing dengan sangat mudah dalam waktu singkat.
Dalam situasi seperti ini, memperkuat ideologi Pancasila bukan berarti kita harus terasing dari perkembangan global. Sebaliknya, kita harus bisa menyerap nilai-nilai positif dari luar dan menyingkirkan hal yang tidak sejalan dengan kepribadian bangsa kita.
Pada era digital saat ini, kita bisa mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila melalui beberapa strategi konkret. Pertama, pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa bisa diwujudkan dengan mengedepankan etika beragama di dunia maya, menjunjung tinggi toleransi, dan menghindari ujaran kebencian yang berbasis agama.
Kita perlu melawan fenomena intoleransi dan ekstremisme agama yang marak di media sosial dengan konten-konten yang mempromosikan moderasi beragama dan dialog antariman.
Sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dapat diimplementasikan melalui upaya membangun literasi digital yang beretika dan berfokus pada manusia.
Ini berarti kita harus menghormati privasi, mencegah cyberbullying, dan mengembangkan teknologi yang mengutamakan kepentingan manusia. Nilai-nilai kemanusiaan juga harus tecermin dalam pengembangan kecerdasan buatan yang etis dan bertanggung jawab.
Sedangkan nilai Persatuan Indonesia perlu diperkuat melalui konten digital yang merayakan kebinekaan dan keberagaman budaya Nusantara.
Media sosial bisa menjadi platform yang efektif untuk memperkuat ikatan emosional antarwarga negara dengan menghargai kekayaan budaya dan sejarah Indonesia.
Karenanya, pemerintah dan masyarakat sipil perlu menggalang kerja sama yang baik untuk menciptakan narasi digital yang mampu memperkuat identitas nasional kita.
Sementara itu, prinsip Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, bisa diwujudkan melalui upaya memanfaatkan platform digital untuk mendorong partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan.
E-government dan demokrasi digital memberikan kesempatan luas bagi masyarakat untuk aktif melibatkan diri dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Data terbuka dan transparansi informasi publik adalah wujud nyata dari nilai-nilai demokrasi pada era digital.
Sila pemungkas, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dapat diaktualisasikan dengan memanfaatkan teknologi canggih demi pemerataan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Contohnya, inovasi fintech untuk inklusi keuangan, telemedicine untuk layanan kesehatan jarak jauh, dan pembelajaran daring untuk pendidikan inklusif, menunjukkan bagaimana teknologi dapat mewujudkan keadilan sosial di tengah era digital.
Menjaga konsistensi
Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan Pancasila adalah menjaga konsistensi di antara nilai-nilai dasarnya, nilai instrumental, dan nilai praksisnya.
Ideologi akan kehilangan kredibilitasnya jika nilai-nilai dasarnya tidak dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, transformasi nilai Pancasila perlu diterapkan melalui pendidikan, regulasi, dan keteladanan dari para pemimpin.
Sejarah telah menunjukkan bahwa penyimpangan dalam pengamalan Pancasila, baik ke arah kiri maupun kanan, selalu menimbulkan gejolak dalam kehidupan berbangsa. Pancasila harus ditempatkan sebagai ideologi tengah yang mengambil jalan moderat, bukan ekstrem kiri atau kanan.
Di tengah kancah persaingan ideologi global, Pancasila harus muncul sebagai alternatif yang menawarkan keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan material, individualisme dan kolektivisme, serta tradisi dan modernitas.
Dengan cara ini, Pancasila tidak sekadar berfungsi sebagai sarana pemersatu bangsa, tetapi juga sebagai perisai yang sangat efektif dalam menangkal berbagai paham yang mengancam keutuhan NKRI.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS