Krisis Integritas: Normalisasi Menyontek dalam Pendidikan di Indonesia

Hayuning Ratri Hapsari | Budianto Sutrisno
Krisis Integritas: Normalisasi Menyontek dalam Pendidikan di Indonesia
Ilustrasi menyontek (pexels.com/Andy Barbour)

Berita tentang kebocoran soal Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025 telah mengguncang dunia pendidikan Indonesia.

Temuan terbaru yang mengejutkan adalah penggunaan kamera mini tersembunyi dalam behel (kawat gigi) peserta ujian. Inovasi dalam metode kecurangan ini menunjukkan betapa menyontek kini tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran serius, tetapi telah menjadi hal yang biasa dalam lingkungan pendidikan kita.

Praktik warisan

Fenomena menyontek di Indonesia telah bertransformasi dari sekadar perilaku menyimpang menjadi semacam norma yang tersembunyi.

Dari generasi ke generasi, praktik ini seolah diwariskan dengan berbagai pembenaran. ”Semua orang melakukannya” atau ”Yang penting nilai bagus” menjadi mantra yang sering terdengar di kalangan pelajar. Normalisasi perilaku curang ini mencerminkan adanya krisis integritas yang serius dalam sistem pendidikan nasional.

Penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Kalimantan mengungkapkan bahwa perilaku menyontek tidak terjadi begitu saja. Terdapat ekosistem yang kompleks yang mendukungnya, yakni sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada hasil, tekanan sosial untuk selalu unggul, dan lemahnya internalisasi kejujuran.

Menyontek telah menjadi solusi pragmatis dalam sistem yang tampaknya lebih menghargai nilai sempurna ketimbang proses pembelajaran yang jujur.

Era digital—yang seharusnya memperkaya cara kita belajar—justru memunculkan paradoks baru. Kemajuan teknologi memberikan berbagai metode canggih untu melakukan kecurangan.

Kini, teknologi menjadi pedang bermata dua dalam pendidikan, mulai dari komunikasi tersembunyi lewat perangkat elektronik mini hingga penggunaan kamera tersembunyi.

Kasus kamera yang disembunyikan pada behel, yang dilaporkan oleh media nasional pada April 2025, menunjukkan betapa seriusnya masalah kecurangan ini.

Ini bukan lagi sekadar ”sontekan di telapak tangan” yang dilakukan secara impulsif, melainkan kecurangan yang direncanakan dengan investasi teknologi yang tidak sedikit. Fenomena ini mencerminkan adanya pergeseran nilai dalam masyarakat yang mulai menganggap kecurangan sebagai hal yang wajar demi mencapai tujuan.

Dampak lebih serius

Normalisasi perilaku menyontek membawa dampak yang lebih serius daripada sekadar nilai ujian yang tidak absah. Siswa yang cenderung menyontek itu cenderung mengembangkan pola pikir yang membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Ketika mereka memasuki dunia kerja, nilai-nilai tersebut terbawa dan berpotensi menciptakan generasi profesional yang menganggap remeh praktik-praktik tidak etis seperti korupsi, plagiarisme, dan pelanggaran integritas lainnya.

Selain itu, normalisasi menyontek menciptakan suasana belajar yang tidak adil. Siswa yang memilih untuk jujur sering kali merasa dirugikan dan kehilangan motivasi ketika mereka melihat teman-teman yang menyontek mendapatkan penghargaan dan pengakuan yang sama, atau bahkan lebih tinggi.

Situasi semacam ini perlahan-lahan merusak dasar meritokrasi dan menimbulkan pandangan bahwa kejujuran adalah pilihan yang naif.

Dalam menghadapi krisis integritas ini, kita memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan melibatkan berbagai aspek. Pertama, kita perlu mereformasi sistem evaluasi pendidikan.

Ujian seharusnya tidak hanya mengukur kemampuan mengingat, tetapi juga keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi—hal-hal yang sulit untuk disontek.

Kedua, institusi pendidikan harus mampu menciptakan budaya integritas yang kuat dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Guru, orang tua siswa, dan siswa perlu bersama-sama membangun pemahaman bahwa proses belajar yang jujur jauh lebih berharga ketimbang nilai tinggi yang diraih dengan cara curang.

Ketiga, teknologi yang sama yang digunakan untuk menyontek juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan pencegahan. Pengembangan sistem ujian yang lebih adaptif, personalisasi, dan berbasis kompetensi dapat mengurangi dorongan untuk menyontek.

Memulihkan integritas

Transformasi budaya tidak bisa terjadi dalam waktu semalam. Dibutuhkan komitmen jangka panjang untuk mengubah pandangan bahwa menyontek itu wajar. Pendidikan karakter yang menekankan pentingnya integritas harus menjadi prioritas yang setara dengan penguasaan materi akademik.

Kebocoran soal UNBK dan SNBT 2025 seharusnya menjadi momen bagi kita untuk melakukan refleksi bersama. Ketika menyontek dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, kita telah gagal menanamkan nilai-nilai dasar yang seharusnya menjadi tujuan utama pendidikan itu sendiri.

Memulihkan integritas dalam pendidikan di Indonesia adalah tanggung jawab kita semua. Dengan membangun sistem yang menghargai kejujuran dan proses pembelajaran yang autentik, niscaya kita bisa memutus siklus normalisasi kecurangan. Sekaligus juga menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki integritas yang tinggi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak