Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang pesat, Indonesia kini dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga nilai-nilai luhur budaya kita. Masih maraknya fenomena korupsi, kemerosotan moral di kalangan generasi muda, dan semakin pudarnya identitas nasional, menjadi sinyal bahwa kita perlu memperkuat pendidikan karakter.
Sebuah hasil penelitian menyatakan bahwa sekitar 90 % kasus pemecatan di Amerika Serikat disebabkan oleh perilaku buruk, seperti tidak bertanggung jawab dan tidak jujur—bukan karena kurangnya kemampuan intelektual.
Hakikat pendidikan karakter
Sejatinya, pendidikan karakter itu lebih dari sekadar menanamkan nilai-nilai moral. Ini adalah proses yang membentuk kepribadian secara menyeluruh, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk karakter dan peradaban bangsa yang bermartabat. Namun, dalam praktiknya, kita masih jauh dari harapan yang dicita-citakan.
Di Finlandia, pendidikan karakter sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional mereka. Dengan pendekatan phenomenon-based learning (pembelajaran berbasis fenomena), nilai-nilai seperti empati, tanggung jawab, dan kejujuran diajarkan dalam konteks yang nyata.
Hasilnya, Finlandia berhasil mencetak generasi yang memiliki integritas tinggi. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat korupsi dan tingginya kepercayaan masyarakat terhadap institusi publik.
Sementara itu, di Jepang tokkatsu (aktivitas khusus) menjadi metode yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai disiplin, kerja sama, dan tanggung jawab, mulai dari kegiatan bersih-bersih sekolah hingga makan siang bersama.
Sebelum makan siang dimulai, para siswa memberikan hormat kepada juru masak sekolah. Sehabis makan, mereka membereskan meja dan mencuci perangkat makan, serta mengepel lantai. Disiplin dalam berlalu lintas juga diajarkan pada siswa sejak usia dini.
Tantangan dalam implementasi
Di Indonesia, Program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) telah diluncurkan untuk mengintegrasikan lima nilai utama—religiusitas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas—ke dalam kurikulum pendidikan.
Namun, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai tantangan. Pertama, pendekatan yang digunakan sering kali terlalu formal dan terjebak dalam aktivitas seremonial. Kedua, kurangnya teladan dari pendidik dan tokoh publik. Ketiga, minimnya kolaborasi antara sekolah, keluarga, dan masyarakat dalam membangun ekosistem pendidikan karakter.
Untuk mengatasi tantangan ini, kita perlu strategi yang lebih komprehensif. Pertama, penting untuk mengadopsi pendekatan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari siswa, seperti pembelajaran berbasis proyek.
Sekolah Karakter di Depok adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai integritas dapat diinternalisasikan melalui proyek sosial yang melibatkan siswa dalam menyelesaikan masalah di lingkungan mereka.
Dalam praktik terdapat beberapa langkah penting untuk membangun karakter yang kuat. Langkah pertama, kita perlu memperkuat peran keluarga sebagai fondasi utama dalam pembentukan karakter.
Program Parenting School yang diinisiasi oleh beberapa sekolah di Yogyakarta, telah terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran orang tua mengenai pentingnya menjadi teladan di dalam keluarga.
Langkah kedua berupa upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pembiasaan nilai-nilai positif, seperti yang dilakukan di Kampung Literasi di Bandung, seluruh elemen masyarakat terlibat dalam membangun budaya membaca dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pendidikan karakter di Indonesia memerlukan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tanggung jawab institusi pendidikan formal, melainkan juga memerlukan dukungan kolaborasi yang sinergis antara pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Penelitian tentang kecerdasan emosional menunjukkan bahwa 80% keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh kematangan emosional dan karakter, bukan hanya oleh kecerdasan intelektual semata.
Sebagai bangsa yang kaya akan nilai budaya dan kearifan lokal, sebenarnya Indonesia memiliki potensi sosial yang kuat untuk membangun pendidikan karakter yang efektif. Keteladanan tokoh-tokoh nasional seperti Ki Hadjar Dewantara dengan filosofi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang memberikan dukungan) bisa menjadi sumber inspirasi dalam mengembangkan model pendidikan karakter yang autentik dan berakar pada jati diri bangsa.
Dengan memperkuat fondasi pendidikan karakter, Indonesia akan mampu mencetak generasi unggul yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas moral dan kepribadian yang tangguh dalam menghadapi tantangan global.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS