Fenomena IRT Jadi Affiliator: Emansipasi atau Eksploitasi Tersembunyi?

Hayuning Ratri Hapsari | Zuyyina Laksita Dewi
Fenomena IRT Jadi Affiliator: Emansipasi atau Eksploitasi Tersembunyi?
Ilustrasi affiliator (freepik.com/tirachardz)

Beberapa tahun belakangan, di media sosial terutama TikTok dan Shopee ramai oleh para affiliator. Affiliator adalah mereka yang mempromosikan produk lewat tautan khusus dan mendapat komisi dari setiap transaksi.

Namun menariknya, yang kini mendominasi fenomena ini bukan para selebgram atau influencer kawakan, melainkan para ibu rumah tangga. Fenomena ini terlihat masif, bahkan cenderung menjadi tren. Tapi apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik antusiasme ini?

Ketika Fleksibilitas Menjadi Daya Tarik

Hasil survei dari goodsats.id menunjukkan bahwa 67% responden melihat affiliate marketing sebagai sumber penghasilan tambahan yang menarik. 13% memanfaatkan peluang ini untuk membangun bisnis online dan memperluas koneksi, dan 13% lainnya menjadikan fleksibilitas waktu sebagai alasan utama.

Bagi ibu rumah tangga, fleksibilitas ini adalah kemewahan. Mereka bisa bekerja dari rumah, tanpa harus meninggalkan anak atau keluarga. Modal awal yang nyaris nol membuatnya terasa inklusif—bahkan bagi mereka yang sebelumnya tidak punya latar belakang bisnis atau pemasaran.

Namun, pertanyaannya: apakah ini benar-benar bentuk emansipasi digital, atau justru bentuk eksploitasi ekonomi yang dibungkus dengan dalih pemberdayaan?

Antara Hobi, Healing, dan Harapan Finansial

Dalam narasi yang lebih dalam, menjadi affiliator kerap digambarkan sebagai aktivitas yang menyenangkan dan "healing". Banyak ibu rumah tangga yang merasa bosan dengan rutinitas domestik dan menemukan semacam pelarian produktif dalam aktivitas ini.

Interaksi di media sosial, membagikan ulasan produk, dan berkomunikasi dengan audiens memberi mereka rasa keterhubungan sosial yang selama ini hilang.

Namun, di balik euforia ini, muncul sisi kelam yang jarang disorot: ketimpangan dalam sistem afiliasi itu sendiri. Begitu banyak ibu rumah tangga yang tekun membuat video review setiap hari, bahkan sampai lima kali sehari, lengkap dengan pembelian produk secara mandiri demi bisa merasakan dan memberikan ulasan jujur. Sayangnya, semua kerja keras ini tidak menjamin hasil.

Sebab dalam praktiknya, penonton tidak akan serta-merta klik keranjang kuning. Mereka hanya membeli saat sudah trust—dan kepercayaan ini hampir selalu diberikan kepada mereka yang sudah punya nama, followers ribuan, serta kualitas konten yang terlihat profesional.

Akhirnya, para affiliator kecil ini hanya jadi deretan akun content creator tanpa pemasukan, yang kalah bersaing dalam algoritma dan ekspektasi sosial.

Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Sementara para affiliator kecil bekerja keras tanpa kepastian, brand justru diuntungkan. Mereka mendapat “promosi gratis” dari ratusan bahkan ribuan affiliator tanpa harus mengeluarkan sepeser pun untuk endorse atau gaji.

Dalam sistem ini, para ibu rumah tangga yang berharap bisa membantu keuangan keluarga justru sering kali hanya dijadikan mesin promosi sukarela.

Mahari, dalam wawancaranya dengan olenka.id, menyebut bahwa trust lebih penting dari jumlah follower. Tapi dalam kenyataannya, kepercayaan ini tetap erat kaitannya dengan siapa yang sudah “punya nama”—bukan siapa yang paling jujur atau paling bekerja keras.

Akhirnya, nasib para affiliator kecil dengan jumlah pengikut minim hanya bisa gigit jari melihat suksesnya mereka yang sudah besar. Ini adalah bentuk ketidakadilan struktural dalam ekonomi digital yang perlu mendapat perhatian lebih.

Dari Komunitas ke Komoditas

Fenomena ini juga menyingkap bagaimana relasi sosial perempuan dimodifikasi. Dalam banyak kasus, ibu rumah tangga memasarkan produk ke sesama ibu rumah tangga, memanfaatkan keakraban di grup WhatsApp sekolah, arisan, hingga komunitas parenting. Dalam prosesnya, kepercayaan kolektif berubah menjadi transaksi ekonomi.

Apakah ini salah? Tidak selalu. Tapi penting untuk disadari bahwa relasi sosial yang tadinya netral kini disusupi motif keuntungan. Kita tidak lagi sekadar bertukar cerita soal anak, tapi juga saling promosi link afiliasi. Belum lagirelasi dengan keluarga juga terganggu akibat kesibukan baru ini.

Adanya harapan untuk dapat keuntungan ini membuat para ibu bekerja keras membuat video setiap hari, yang hasilnya juga belum tentu terlihat dalam kurun waktu berbulan-bulan

Perlu Narasi yang Lebih Adil

Affiliate marketing bisa menjadi peluang nyata bagi ibu rumah tangga untuk berkembang dan mendapatkan penghasilan. Tapi untuk menyebutnya sebagai bentuk “pemberdayaan” tanpa melihat sisi gelapnya adalah narasi yang terlalu simplistik.

Kita butuh narasi baru: bukan hanya soal cuan dan fleksibilitas, tapi juga soal perlindungan, keadilan digital, dan pengakuan terhadap kerja mereka. Karena ketika rumah menjadi kantor, dan waktu pribadi menjadi aset, kita perlu bertanya: siapa yang diuntungkan dan siapa yang sedang bekerja dalam senyap?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak