Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme

Hikmawan Firdaus | Ridho Hardisk
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
Ilustrasi kehidupan urban yang minimalis (freepik.com)

Kos satu petak. Meja kerja menghadap jendela, isi lemari hanya tiga pasang baju netral, dan satu rak berisi buku serta alat makan. Tak ada tumpukan barang. Tak ada printilan berdebu. Semua terasa lapang walau ruangnya sempit. Begitulah gaya hidup yang kini banyak diidamkan: hidup simpel, ringkas, dan katanya penuh makna. Generasi urban kini makin akrab dengan istilah “minimalisme”. Bukan cuma soal dekorasi rumah estetik di Instagram, tapi juga sebagai filosofi hidup. Hidup dengan lebih sedikit barang, lebih sedikit distraksi, dan lebih banyak ruang untuk diri sendiri.

Tapi, pertanyaannya apakah ini benar-benar kesadaran baru? Atau justru strategi bertahan hidup di kota besar yang makin mahal?

Minimalisme: Tren atau Kesadaran?

Konsep hidup minimalis bukan hal baru. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, ia muncul sebagai gaya hidup yang kekinian. Mulai dari tren decluttering ala Marie Kondo, capsule wardrobe (20 potong pakaian untuk setahun), sampai rumah-rumah mikro ala Japandi yang serba putih bersih. Di TikTok dan Instagram, tagar #minimalism dan #capsulewardrobe menjangkau miliaran tayangan. Banyak orang membagikan transformasi ruang kos jadi estetik dan rapi, serta tips hidup cukup dengan barang multifungsi.

Namun di balik estetika itu, minimalisme juga muncul dari keresahan sosial. Studi tahun 2023 oleh peneliti di Yogyakarta menemukan bahwa gaya hidup ini dipilih sebagai bentuk “resistensi terhadap konsumsi berlebihan” dan pelarian dari tekanan hidup modern. Tapi apakah semua orang memilihnya karena sadar? Atau karena memang tak punya banyak pilihan?

Di kota besar, sewa tempat tinggal makin mahal. Harga makanan naik. Biaya transportasi tak menentu. Sementara pendapatan anak muda masih stagnan. Tak heran jika banyak dari mereka meski tanpa disadari mulai hidup dengan sedikit barang. Mungkin bukan karena ikut-ikutan tren, tapi karena itu satu-satunya cara bertahan. Seperti yang disampaikan pengguna Reddit Indonesia, “gue berhenti beli baju baru bukan karena pengin minimalis, tapi karena memang nggak mampu belanja impulsif lagi.” Ada juga yang mengaku, “lebih hemat waktu dan uang kalau tiap hari pakai baju yang sama.”

Fenomena ini memperlihatkan bahwa minimalisme bukan sekadar estetika Instagram. Ia juga bisa jadi refleksi dari realitas sosial: ruang makin kecil, penghasilan terbatas, dan dunia yang menuntut kesederhanaan karena keterbatasan.

Perlawanan Konsumerisme atau Estetika Baru?

Minimalisme sering dipromosikan sebagai “gaya hidup anti-konsumtif”. Tapi apakah benar demikian?

Kita lihat tren underconsumption dan capsule wardrobe yang kini ramai di media sosial. Banyak dari kita justru mengganti konsumsi massal dengan konsumsi yang lebih “terkurasi” dengan baju warna netral, furnitur kayu terang, atau alat makan keramik handmade. Semua masih tetap konsumsi, hanya berganti bungkus.

Kritikus gaya hidup menyebut ini sebagai “konsumsi dengan estetika kesadaran”. Bukannya berhenti belanja, tapi berbelanja barang-barang yang tampak lebih berkelas, lebih fungsional, dan lebih etis. Tapi tetap mahal. Apakah ini masih minimalisme, atau justru rebranding gaya hidup konsumtif yang dibungkus nilai-nilai “kesadaran”?

Tentu, tidak semua orang hidup minimalis karena tekanan ekonomi. Ada yang benar-benar memilih gaya hidup ini demi ketenangan batin dan fokus hidup. Mereka merasa lebih damai dengan sedikit barang, sedikit pilihan, dan sedikit gangguan visual. Namun, kita juga tak bisa menutup mata bahwa tren ini bisa memunculkan standar sosial baru yang justru menuntut.

Estetika minimalis yang sering kita lihat di media sosial bukan sembarang “sederhana”. Ia terkurasi. Seragam. Bersih. Mahal. Bukan hidup seadanya, tapi hidup dengan gaya tertentu. Jika dulu kita merasa tertinggal karena tidak ikut tren fashion, sekarang bisa jadi kita merasa “tidak cukup mindful” karena masih punya barang terlalu banyak.

Minimalisme, pada akhirnya, adalah cermin. Ia bisa memantulkan kesadaran, tapi juga bisa menyembunyikan realitas. Ia bisa menjadi jalan keluar dari gaya hidup konsumtif, tapi juga bisa jadi gaya hidup baru yang tetap kapitalistik, hanya lebih kalem. Kita perlu jujur kalo tidak semua orang bisa memilih hidup minimalis. Sebagian hidup sederhana karena memang tak punya banyak pilihan. Sebagian lagi menjadikannya gaya hidup sadar. Keduanya valid. Mungkin, pertanyaannya bukan soal seberapa sedikit barang yang kita punya, tapi apakah yang kita punya memang benar-benar kita butuhkan?

Karena dalam dunia yang terus menawarkan “lebih”, memilih “cukup” memang terdengar radikal. Tapi justru di situlah letak kekuatan minimalisme jika memang dijalani dengan kesadaran, bukan keterpaksaan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak