Di Balik FYP TikTok: Algoritma dan Seni Membaca Perasaan Manusia

Hikmawan Firdaus | Zuyyina Laksita Dewi
Di Balik FYP TikTok: Algoritma dan Seni Membaca Perasaan Manusia
Ilustrasi Sosial Media Tiktok (Unspplash/Olivier Bergeron)

Para konten kreator, pernahkah video yang sudah kalian buat dengan semangat dan edit dengan niat tapi tak kunjung masuk FYP? Sudah riset jam unggah, durasi, sampai hashtag, tapi hasilnya tetap nihil.

Sebenarnya, sudah banyak sekali tips mainstream tentang cara agar bisa FYP di TikTok seperti manfaatkan hashtag, ikuti tren musik viral, buat hook memikat di tiga detik pertama, dan posting di jam-jam tertentu. Mungkin semua itu dulu efektif, tapi belakangan terasa tidak lagi. Sampai akhirnya saya mulai berpikir, mungkin masalahnya bukan pada algoritma, tapi pada cara memahami manusia yang menonton di balik layar.

Menurut penjelasan di eraspace.com, FYP di TikTok artinya visibilitas konten yang tinggi, artinya video yang ditonton sampai selesai, disukai, dikomentari, dan dibagikan. Semakin besar interaksi, semakin besar pula kemungkinan konten itu dianggap “relevan” oleh sistem. TikTok memang menggunakan algoritma berbasis machine learning yang mempelajari kebiasaan pengguna seperti apa yang mereka tonton lama, apa yang mereka skip, sampai jenis konten yang paling sering mereka sukai.

Namun di balik semua istilah teknis itu, saya justru melihat hal yang lebih manusiawi. Algoritma tidak hanya membaca data—ia membaca emosi. Ia tahu kapan seseorang berhenti di satu video karena lucu, kapan seseorang menatap lama karena tersentuh, atau kapan seseorang menonton ulang karena penasaran. FYP pada akhirnya bukan sekadar “keberuntungan”, tapi cerminan dari bagaimana manusia bereaksi terhadap emosi yang disampaikan dalam sebuah video.

Saya mulai mempelajari algoritma TikTok ini dari diri sendiri. Saat saya scroll dan berhenti, menonton video sampai habis, bahkan mengulanginya, saya bertanya: kenapa saya bisa berhenti lama di video itu? Dari situ saya sadar, algoritma TikTok sedang membaca perilaku saya dan mungkin juga emosi saya.

Lalu saya terapkan hal yang sama di konten saya sendiri. Kadang saya memasukkan humor yang relatable, kadang membuat konten edukasi panjang atau versi singkatnya. Hasilnya, yang paling tinggi engagement-nya selalu konten yang menyentuh entah lewat humor, kesedihan, atau kemarahan. Tapi, konten edukatif juga punya interaksi unik: orang-orang mungkin tak banyak berkomentar, tapi mereka like, share, dan save karena merasa isinya bermanfaat.

Menurut artikel Exporthub (2025), TikTok menampilkan video baru ke sekelompok kecil pengguna dengan minat relevan. Jika interaksi awalnya tinggi, barulah video itu disebarkan lebih luas. Mekanismenya terdengar teknis, tapi yang menentukan tetaplah emosi penonton. Jika sebuah video mampu membuat orang merasa sesuatu—terhibur, tersentuh, atau bahkan jengkel—algoritma akan menangkap sinyal itu sebagai “konten menarik” dan memperluas jangkauannya.

Artinya, yang sebenarnya sedang dipelajari TikTok bukan sekadar klik dan durasi, tapi juga cara manusia menanggapi perasaan. Menjadi kreator berarti belajar memahami psikologi manusia: apa yang membuat orang berhenti scroll, apa yang membuat mereka menekan tombol “like”, dan kapan mereka memilih untuk membagikan sesuatu.

Namun, di sisi lain, seni memahami psikologi manusia ini bisa jadi bumerang. Pertanyaan besar adalah siapa sebenarnya manusianya? karena FYP dan ketertarikan tiap orang bisa sangat berbeda. Itulah kenapa membuat konten yang unik sesuai niche tetap penting. Dan konten mana pun asal berkualitas bisa saja tetap FYP, di orang-orang yang berbeda. Sangat dilematis ketika kreator lebih fokus pada “apa yang disukai orang” dibanding “apa yang ingin disampaikan”.

Sekarang, setiap kali membuat video, mungkin sebaiknya jangan hanya berpikir “bagaimana caranya FYP?”, tapi “apa yang akan dirasakan orang ketika menontonnya?”. Karena di balik FYP TikTok, ada seni membaca perasaan. Dan mungkin, lewat proses itu, kita pun belajar membaca sisi manusia dalam diri kita sendiri.

FYP bisa jadi jebakan ego, tapi juga bisa jadi pelajaran empati. tergantung, tujuan kalian membuat konten awal, untuk apa? apakah sekadar viral? atau memang ingin punya manfaat? 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak