The Power of 'Nggak, Makasih': Heroiknya Menolak Sedotan dan Tas Kresek

Hayuning Ratri Hapsari | YESRUN EKA SETYOBUDI
The Power of 'Nggak, Makasih': Heroiknya Menolak Sedotan dan Tas Kresek
Ilustrasi seseorang menolak sedotan plastik di sebuah kafe (Freepik.com)

Ada sebuah momen kecil yang terjadi hampir setiap hari, sebuah interaksi singkat yang sering kali kita lalui tanpa berpikir. Saat memesan es kopi di kafe, pelayan akan menyodorkan sedotan plastik. Saat berbelanja di minimarket, kasir akan sigap memasukkan barang kita ke dalam kantong kresek. Respons otomatis kita sering kali hanya anggukan atau diam, menerima apa yang disodorkan.

Namun, di tengah kebiasaan itu, ada sebuah kekuatan besar yang tersembunyi dalam dua kata sederhana: "Nggak, makasih." Mengucapkannya mungkin terasa sepele, sedikit canggung, atau bahkan merepotkan.

Tapi, di era planet kita sedang terengah-engah di bawah tumpukan sampah, tindakan penolakan sederhana ini telah berevolusi menjadi sebuah aksi kepahlawanan sunyi. Ini adalah kisah heroik tentang bagaimana menolak sedotan dan tas kresek adalah bentuk perlawanan paling personal dan berdampak yang bisa kita lakukan setiap hari.

Mungkin terdengar berlebihan untuk menyebut penolakan sedotan sebagai aksi heroik, tetapi data menunjukkan skala masalah yang sedang kita hadapi. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 93 juta sampah sedotan plastik setiap tahunnya.

Jika disusun, panjangnya bisa setara dengan jarak dari Jakarta hingga Meksiko. Tak hanya itu, sebuah studi juga menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia membuang sekitar 10 miliar lembar kantong plastik atau kresek ke lingkungan setiap tahunnya.

Angka-angka ini adalah bagian dari masalah yang lebih besar. Sebagai negara kepulauan, Indonesia menjadi salah satu penyumbang sampah plastik laut terbesar di dunia, di mana jutaan ton sampah plastik dari darat berakhir di lautan setiap tahun.

Dampaknya sangat mengerikan: biota laut terancam karena menelan atau terjerat plastik, ekosistem terumbu karang rusak, dan mikroplastik tanpa kita sadari masuk ke dalam rantai makanan hingga ke piring kita. Di hadapan krisis sebesar ini, setiap sedotan dan tas kresek yang berhasil kita cegah masuk ke lingkungan adalah sebuah kemenangan kecil yang sangat berarti.  

Kekuatan sesungguhnya dari "nggak, makasih" terletak pada kemampuannya untuk memutus siklus konsumsi impulsif. Budaya serba praktis telah membuat kita terbiasa menerima barang sekali pakai tanpa bertanya.

Mengatakan "tidak" adalah sebuah deklarasi sadar. Ini adalah pernyataan bahwa kita memilih untuk sedikit repot—dengan membawa botol minum atau tas belanja sendiri demi kebaikan yang lebih besar. Tindakan ini mungkin tidak akan membersihkan lautan dalam semalam, tetapi ia memiliki efek domino yang kuat.

Ketika kita melakukannya secara konsisten, kita tidak hanya mengubah kebiasaan pribadi, tetapi juga mengirimkan sinyal yang jelas kepada para pelaku usaha. Bayangkan jika ribuan, lalu jutaan orang mulai menolak plastik sekali pakai.

Permintaan akan menurun, dan bisnis akan dipaksa untuk beradaptasi dan mencari alternatif yang lebih ramah lingkungan. Ini adalah bentuk demokrasi konsumen yang paling murni, di mana setiap penolakan adalah sebuah suara untuk perubahan.

Lebih dari itu, setiap kali kita mengucapkan "nggak, makasih," kita sedang melakukan sebuah kampanye mikro. Teman yang melihat kita minum langsung dari gelas, atau kasir yang melihat kita mengeluarkan tas belanja lipat, akan terekspos pada sebuah perilaku alternatif.

Awalnya mungkin aneh, tetapi seiring waktu, tindakan ini akan menormalisasi sebuah kebiasaan baru. Mantan Kepala BNPB, Doni Monardo, bahkan secara pribadi mempromosikan penggunaan tumbler sebagai wujud nyata penolakan terhadap plastik sekali pakai, menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari teladan individu.

Semangat ini sejalan dengan hasil riset yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia sebenarnya siap untuk berubah. Sebuah survei menemukan bahwa 75% responden bersedia beralih menggunakan tas belanja guna ulang. Yang kita butuhkan hanyalah pemicu dan contoh nyata, dan itu bisa dimulai dari diri kita sendiri.  

Jadi, lain kali saat Anda dihadapkan pada pilihan antara menerima atau menolak, ingatlah kekuatan yang Anda miliki. Mengatakan "nggak, makasih" pada sedotan dan tas kresek bukanlah sekadar tindakan menolak plastik. Itu adalah sebuah sikap, sebuah pernyataan nilai, dan sebuah kontribusi nyata untuk memerdekakan bumi dari belenggu sampah.

Ini adalah kepahlawanan dalam skala mikro, sebuah aksi kecil yang jika dilakukan bersama-sama, akan menciptakan sebuah revolusi besar. Mari kita jadikan dua kata sederhana itu sebagai senjata andalan kita, karena pahlawan sejati tidak selalu memakai jubah; terkadang, mereka hanya membawa tas belanja dan botol minum sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak