Organisasi mahasiswa seperti BEM dan himpunan di berbagai kampus semestinya menjadi ruang aman bagi mahasiswa untuk belajar berdemokrasi, berpikir kritis, dan melatih kepemimpinan kolektif. Namun, beberapa tahun terakhir, fungsi ideal ini mulai tergerus.
Banyak pihak mulai gelisah menyaksikan arah gerak organisasi mahasiswa yang makin menjauh dari esensinya. Isu politisasi makin sering mencuat, apalagi ketika elite eksternal dan senior-senior internal mulai ikut campur dalam proses pengambilan keputusan. Alih-alih menjadi wadah perjuangan bersama, organisasi mahasiswa justru terseret dalam permainan kuasa yang bukan milik mereka.
Fenomena ini sebenarnya sudah menjadi budaya. Tapi kini, pola dan dampaknya terasa makin nyata. Partai politik atau institusi dari luar kampus yang mencoba memanfaatkan gerakan mahasiswa, serta para alumni senior yang masih ingin memelihara pengaruhnya di internal organisasi. Di sejumlah kampus, perebutan posisi strategis di BEM atau himpunan mahasiswa kerap lebih mirip ajang kontestasi kekuasaan dibandingkan ruang musyawarah. Suasana saling sikut, penuh intrik, dan manipulasi kini dianggap sebagai bagian biasa dari proses kaderisasi.
Dalam laporan yang dirilis CSSMoRA tahun 2025, terlihat bahwa organisasi mahasiswa kini cenderung bersifat instrumental dengan dijalankan untuk mendukung agenda pribadi atau kelompok tertentu. Banyak pengurus yang diminta loyal terhadap arahan senior atau pihak eksternal yang dianggap berjasa membawa mereka ke tampuk kekuasaan. Tanpa disadari, mereka hanya menjadi pion dalam skenario yang lebih besar.
Hal ini dikuatkan oleh data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2023. Dari survei terhadap 500 mahasiswa aktif, 62% mengaku ruang diskusi di organisasinya semakin sempit akibat tekanan dari luar. Lebih dari separuh responden bahkan pernah merasa ditekan untuk menyetujui keputusan yang tak mereka pahami secara utuh, hanya karena datang dari atasan atau senior yang dihormati.
Situasi ini mengganggu proses kaderisasi dan mengubah arah gerak organisasi. Peran strategis seperti advokasi kampus, pendidikan politik, hingga penguatan kapasitas anggota perlahan tergantikan oleh agenda-agenda seremonial yang lebih berorientasi pada citra pengurus. BEM yang dulu dikenal kritis dan lantang terhadap kebijakan negara, kini lebih sibuk menjalin relasi dengan tokoh politik ketimbang mengawal isu pendidikan.
Dalam sebuah wawancara yang dimuat oleh Omong-Omong (2023), Kuntowijoyo seorang budayawan dan intelektual Indonesia, beliau menyampaikan pentingnya membedakan antara aktivisme yang didorong oleh kepedulian sosial (altruisme) dengan yang dilandasi narsisisme sosial. Sayangnya, banyak organisasi mahasiswa sekarang justru bergerak demi kepentingan pamor dan jaringan pribadi. Ketika ruang organisasi dijadikan kendaraan untuk mendongkrak karier politik, idealisme yang seharusnya menjadi nyawa gerakan pun perlahan mati.
Parahnya lagi, situasi ini kerap dibungkus dengan dalih pendidikan politik. Padahal, yang terjadi justru pengkondisian dan kooptasi kekuasaan sejak dini. Mahasiswa didorong untuk bersikap lunak terhadap pihak-pihak tertentu demi menjaga hubungan baik. Mereka kehilangan daya kritis, bahkan tak jarang membungkam sesama mahasiswa yang bersuara kritis atas nama stabilitas organisasi.
Tak heran jika kepercayaan publik terhadap gerakan mahasiswa kian menurun. Mahasiswa di luar lingkar organisasi semakin skeptis, melihat bahwa banyak gerakan hanya muncul ketika ada momentum atau demi kepentingan tertentu. Isu-isu serius seperti kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), pemotongan anggaran pendidikan, atau pelanggaran kebebasan akademik justru tak lagi menjadi prioritas.
Politisasi organisasi mahasiswa adalah bentuk kekerasan struktural yang merusak demokrasi dari dalam. Ia tidak muncul secara tiba-tiba, tapi tumbuh dari budaya patronase yang dibiarkan, serta ketidaktegasan kita dalam menjaga independensi organisasi. Jika kondisi ini dibiarkan, organisasi mahasiswa hanya akan menjadi cangkang kosong dengan penuh simbol tapi kehilangan makna.
Sudah waktunya kita bersuara. Kita perlu mengatakan “cukup” pada intervensi elite, pada tekanan senior, dan pada gerakan semu yang hanya menyuburkan kepentingan pribadi. Organisasi mahasiswa harus kembali pada marwahnya: menjadi ruang belajar, ruang diskusi, dan ruang perjuangan untuk perubahan. Karena hanya mahasiswa yang merdeka dan berpikir bebas yang mampu menjaga nyala idealisme dan membawa bangsa ke arah yang lebih baik.