Justice for Tom Lembong: Teriakan Netizen yang Tak Bisa Diabaikan

Hernawan | Fauzah Hs
Justice for Tom Lembong: Teriakan Netizen yang Tak Bisa Diabaikan
Tom Lembong (Instagram/tomlembong)

Di tengah maraknya konten receh dan trending topic yang cepat basi, muncul satu tagar yang tidak biasa, #JusticeForTomLembong. Tagar itu bukan bagian dari promosi film, bukan pula soal selebritas tersandung skandal. Tapi tentang seorang mantan pejabat negara, ekonom, dan sebagian orang menganggapnya sosok idealis yang akhirnya terjerat pusaran hukum.

Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal sebagai Tom Lembong, dijatuhi vonis 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta karena dianggap menyalahgunakan kewenangannya saat memberi izin impor gula tahun 2015. Sebagai Menteri Perdagangan waktu itu, ia meneken izin untuk beberapa perusahaan swasta agar bisa mengimpor gula rafinasi tanpa melewati jalur BUMN. Kejaksaan menganggap hal ini membuat negara (tepatnya BUMN, PTPN) merugi Rp194 miliar.

Tapi publik tidak sependapat dengan kejaksaan.

Pertama, tak ada uang negara yang benar-benar keluar. Tidak ada pula bukti niat jahat dari Tom Lembong. Ini jelas bukan kasus korupsi, bukan juga permainan markup anggaran. Tidak ada transaksi gelap yang terbongkar lewat OTT. Yang terjadi hanya karena Tom Lembong dianggap mengedepankan ekonomi kapitalis dan memperkaya pihak lain, padahal dirinya tak menikmati sepeser pun hasil dari impor gula itu.

Tagar #JusticeForTomLembong adalah bentuk kritik terhadap sistem dan hukum yang terasa tidak masuk akal. Masyarakat tidak sedang membela satu orang, tapi sedang mempertanyakan logika negara. Bahkan banyak orang yang selama ini tak terlalu peduli soal ekonomi atau hukum ikut angkat suara. Mungkin karena Tom bukan sekadar mantan pejabat. Ia adalah simbol dari orang-orang yang pernah mencoba memperbaiki sistem dari dalam, dan kini justru dipidana karena keberaniannya.

“Ini bahaya,” tulis seorang netizen di X. “Hari ini Tom, besok siapa lagi? Semua orang baik yang pernah mengabdi bisa dikriminalisasi hanya karena dianggap tak sejalan dengan kekuasaan?”

Dan memang, kasus ini terasa punya vibes yang lebih dari sekadar perkara hukum. Sejak 2019, Tom Lembong tak lagi menjabat di pemerintahan. Ia kemudian aktif menjadi penasihat ekonomi untuk kubu oposisi, dan cukup kritis terhadap arah kebijakan pemerintah. Dalam Pilpres 2024, ia terang-terangan mendukung Anies Baswedan.

Banyak yang menyambungkan benang merah ini. Terlalu kebetulan, kata mereka, bahwa vonis hukum itu datang ketika suhu politik masih panas-panasnya pasca pemilu. Terlalu mudah percaya bahwa ini semua hanya soal hukum tanpa ada unsur politik sedikit pun.

Publik menuntut keadilan dan konsistensi. Jika setiap kebijakan ekonomi yang berisiko menimbulkan potensi kerugian negara bisa dijadikan kasus hukum, maka seharusnya banyak pejabat lain yang bernasib serupa. Tapi tidak. Hanya Tom Lembong yang diproses. Hanya dia yang masuk penjara.

Dan keanehan semacam ini tak bisa terus-menerus dianggap sebagai kebetulan.

Media sosial, seperti biasa, menjadi ruang oposisi yang paling terbuka. Di tengah media besar yang cenderung kalem, suara netizen menjadi penyeimbang narasi. Mereka menggalang opini, membagikan kronologi, mengajak orang membaca ulang fakta-fakta yang tidak dijelaskan secara utuh. Bahkan beberapa ekonom senior dan tokoh publik ikut menyuarakan keberatan mereka.

Banyak anak muda, profesional, dan bahkan mantan pendukung pemerintah ikut bersuara. Mungkin karena kasus ini menyangkut tentang keadilan. Dan ketika rasa keadilan dilukai, orang tidak perlu menjadi aktivis untuk merasa terpanggil.

Justice for Tom Lembong” adalah bukti bahwa publik tak lagi pasrah menerima semua vonis dan putusan begitu saja. Generasi internet hari ini tumbuh dengan kemampuan membandingkan data, membaca arsip, dan menghubungkan narasi. Mereka tidak mudah ditipu dengan narasi-narasi kosong seperti “sudah sesuai prosedur”.

Yang mereka tuntut adalah keadilan yang logis, proporsional, dan tidak tebang pilih. Kalau memang ada pelanggaran hukum, biarlah semua pelaku yang setara juga dihukum. Kalau ini soal kebijakan, biarlah pertanggungjawabannya bersifat administratif, bukannya kriminal.

Lalu, apakah negara akan mendengarkan, atau lagi-lagi memilih menutup telinga? Waktu yang akan menjawabnya. Tapi yang pasti, teriakan digital itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak